Kuliah Dudu Mikuli Uyah

“Braaak!!!”

Bapak mboten semerap napa karep kulo!!!”,teriakku dari luar rumah setelah membanting pintu.

Bapak kepingin seng paling apik gawe awakmu”. Ujar bapak dengan suara lantang.

Kutinggalkan Bapak dengan penuh rasa benci yang terpendam dalam hati. Ketika keinginan yang begitu menggebu di dalam dada dan tergenggam dalam kepalan tangan tidak mendapatkan restu. Ya, memang Bapak adalah orang yang sangat tidak begitu memperdulikan tentang pendidikan anak-anaknya. Mungkin latar belakang yang hanya sampai pada pendidikan sekolah dasar yang membuat beliau tidak begitu menghiarukan. Beliau hanya mengharapkan anaknya dapat makan hari ini, dan masih dapat hidup untuk mencari sesuap nasi untuk keesokan harinya.

Aku Diandra Wijaya, seorang remaja kelas 3 SMA yang hendak menghadapi pengumuman kelulusan Ujian Nasional tingkat SMA sederajat. Aku tinggal di sebuah desa dataran pegunungan, tepatnya di desa Klodang, kecamatan Ngetos, kabupaten Nganjuk. Di sini Aku memulai untuk membangun sebuah mimpi, mimpi seorang anak yang ingin mengangkat derajat orang tua, mimpi ingin membangun desaku menjadi desa yang lebih baik, yang saat ini tidak begitu dipedulikan oleh pemerintah.

Bapakku adalah seorang buruh tani di sawah milik Kepala Desa, Pak Sujono namanya. Setiap hari Bapak pergi ke sawah hanya menghasilkan uang 70 ribu per hari. Uang tersebut harus didapatkan Bapak dengan penuh perjuangan, berangkat pagi, pulang sore. Jangankan untuk sekolah, cukup untuk makan sehari-hari saja kami sudah bersyukur. Alhamdulillah sekolahku begitu baik memberikan keringanan biaya dengan cara mencicil uang gedung, jadi Bapakku bisa mencari tambahan untuk dapat melunasi biaya sekolahku. Aku anak ketiga dari 4 bersaudara, kakak-kakakku sudah menikah dan meninggalkan kampung halaman.  Entah bagaimana ceritanya, mungkin mereka sudah lupa kalau punya keluarga di Nganjuk, sebab mereka hanya kemari 1 tahun sekali.

Satu minggu yang akan datang adalah pengumuman hasil Ujian Nasional, hari ini sebelum sampai pada pengumuman itu, aku utarakan keinginanku kepada Bapak. Aku sampaikan bahwa setelah lulus dari SMA, aku ingin melanjutkan kejenjang yang lebih tinggi lagi, yakni pada jejang perkuliahan di salah satu Universitas di Surabaya. Tapi, bapak menolak mentah-mentah apa yang aku sampaikan.

Kuliah iku ra penting le! seng penting iku sampean ndolek duwek ben iso mangan, adek mu iki iseh butuh biaya kanggo sekolah.”

Bapak memang begitu, tidak suka kalau anaknya ini mau untuk belajar lagi di kehidupan yang lebih keras lagi di kota, 2 kakakku juga sama ketika dahulu ingin melanjutkan kuliah, tapi mereka tidak keras kepala seperti aku. Ketika bapak tidak mengijinkan, maka mereka tidak berani untuk melanjutkan niat tersebut.  Aku menyampaikan hal itu hanya ingin bapak mengerti apa yang menjadi keinginanku di masa depan, bukan untuk meminta bapak membiayai kuliahku di Kota Pahlawan itu. Aku bisa mencari tambahan pekerjaan disana, agar dapat memenuhi kebutuhanku dan untuk membiayai kuliahku. Namun apa daya, aku tidak menemukan itikad baik dari bapak untuk memberikan restunya, aku tak mau pergi tanpa restu dari orang tua tunggalku itu. Sebab itulah aku pergi begitu saja setelah berdebat dengan bapak. Aku hanya ingin melepaskan amarah dengan pergi kesekolah, siapa tahu disana aku akan mendapat pencerahan dari bapak dan ibu guru.

Perjuanganku untuk dapat sampai di sekolah sangatlah berat, aku harus turun gunung menyusuri semak-semak, berjalan di pinggir jurang, serta menyebrangi seutas tali jembatan yang ada di sungai. Membutuhkan waktu 1 jam untuk bisa sampai di sana, maklum aku berjalan kaki untuk dapat sampai di sekolah, dan jarak rumah ke sekolah kurang lebih 7 Km. Sesampainya disana, Aku bertemu dengan Pak Zainul Mujtahidin, kepala sekolah SMA Negeri 3 Kabupaten Nganjuk. Beliau memberikanku banyak pencerahan, tentang pentingnya pendidikan dan pentingnya menuntut ilmu. Namun, satu hal dari pencerahan beliau yang membekas dalam fikiranku.

“Nak Diandra, hidup ini memang berat, apalagi bagi kita yang hanya seorang anak miskin yang dapat dikatakan tidak mampu untuk melanjutkan ke pendidikan yang lebih tinggi lagi yaitu kuliah. Namun, sampeyan harus ingat salah satu kata mutiara ini, Tuntutlah Ilmu Sampai Ke Negeri Cina.  Walaupun dengan jungkir balik, sampai berdarah-darah, kita harus berjuang untuk mendapatkan ilmu. Kuliah itu menarik, jadi sampyean harus berjuang. Carilah beasiswa, kan ada Bidik Misi.”

Memang, ketika Pak Zainul sudah memberikan motivasi, diriku seperti terbakar akan semangat untuk tetap berjuang sekuat tenaga dikala semangat ini melemah.

***

Pagi ini cerah sekali, semilir angin lembut membelai lebut tubuhku, burung-burung menari bersama dan berkicau sembari mengepakkan sayapnya. Hari ini adalah pengumuman kelulusan, aku masih menunggu pengumuman dari sekolah. Aku akan mengatahui kalau aku lulus ketika samapai jam 12 siang nanti, perwakilan dari sekolah tidak datang kerumah. Sekarang waktu menunjukkan pukul 06.35, masih 6 jam lagi menuju pengumuman kelulusan. Aku menyibukkan diri dengan membaca materi-materi untuk mempersiapkan diri menghadapi ujian masuk di Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya. Seminggu yang lalu, setelah bertemu Pak Zainul, Ibu Ina guru Bimbingan Konseling memberitahuku bahwa telah di buka ujian tulis di Surabaya. Dan aku dibantu beliau untuk mendaftarkan diri melalui pendaftaran online agar dapat mengikuti ujian tersebut. Teman-temanku juga ikut mendaftarkan diri, namun tidak banyak, bisa dihitung dengan jari.

Enam jam berlalu, adzan dzuhur berkumandang, Aku memutuskan untuk sholat dzuhur berjamaah.  Selepas sholat dzuhur, aku melihat jam yang ternyata menunjukkan pukul 12.35 WIB. Dan Alhamdulillah berarti aku lulus. Aku memang belum mengetahui pengumuman secara pasti, namun aku yakin kalau lulus.

***

H-1 ujianpun tiba, aku beranikan diri untuk berpamitan kepada bapak meminta do’a restu, entah apa yang akan beliau ucapkan. Mungkin bapak akan marah besar kepadaku, namun ini adalah tekadku. Mendapat restu atau tidak aku akan tetap berangkat, yang terpenting aku sudah memohon ijin. aku tidak meminta apa-apa dari bapak, hanya do’a restulah yang aku harapkan darinya.

“Pak, mbenjeng kulo ujian ten UIN Sunan Ampel Surabaya, tesnya pagi jam 07.30, hari ini kulo berangkat ten Surabaya nggeh, nyuwun pandungane Bapak mawon mugi diparingi lancar.” Sembari memelas aku memohon kepada bapak untuk memberikan ijin.

Aku yakin sampean bakalan tetep nekat, karaktermu podho karo Ibumu, keras kepala, angel diatur. Yen wis dadi karepe, yo kudu dituruti. Iyo le, sampyean budhalo, muga-muga diparingi lancar karo gusti Allah. Insya’allah niat seng apik bakal nemu dalane. Tapi sampyean kudu eling, kuliah iku dudu mikuli uyah, dadi sampen kudu seng temen nek wes ketrimo.”

Alhamdulillah, aku bersyukur telah berhasil meyakinkan bapak, matur nuwun, Pak.

*Muhamad Allan EdyPutra

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama