Batu Karang

 Oleh: Badriya

Ilustrasi: pixabay.com

Sang pujaan tak lagi ada. Angin berhembus bercabang menyambut kepulanganku ke rumah. Rumah yang kubangun bertahap dari hadiah olimpiade ke pameran kecil yang kuikuti. Dahulu semua terasa indah. Namun, pandemi covid-19 mengubah beberapa rencana kami. Dia pergi lebih dulu. Meninggalkan bunga cinta yang kami siram bersama kisah kasih. Jika pandemi terasa halu karena ia membunuh perlahan. Percayalah kepergian orang terkasih tak ada obatnya. Maksudku, tidak ada pedoman yang bisa ditiru untuk menenggelamkan kesedihan. Memenangkan olimpiade robotic tak seindah dulu, rasanya kesedihan selalu menyelimuti. Tak ada penyambutannya di gerbang kampus. Tak ada lagi yang meminta tolong secara intens atau mengomel saat aku telat menjemput. Kini aku menyadari, semua bukan milikku. Musim telah lewat. Pandemi telah usai 7 tahun yang lalu. Negara berkembang memperbaiki ekonomi dan pendidikan. Juga termasuk kampung hamalanku. Kini saatnya aku pun bangkit dari kesedihan yang panjang. 

Kota George adalah tempat yang kami pilih untuk menetap selama masa kontrakku dengan Google berjalan. Kantor-kantor pemerintah Caymanian sebagian besar berpusat di sini. Gedung-gedung kokoh terbangun meski dengan usia yang cukup muda. Pulau Caymanian cukup maju dengan teknologi, pelabuhan dan beragam pendatang yang mendominasi. Di pulau ini, kali pertama kami dan terakhir bertemu. Batu karang menjadi objek yang membuat kami larut dalam perbincangan. Olahraga air sering kali menutup weekend dengan senyum riang. Kami sesama penggila batu karang di Seven Mile Beach. Dua hari yang lalu, mama memintaku untuk berkunjung ke Sidoarjo. Belum ada alasan pasti di balik titahnya. Selama ini mama tahu aku terlalu lama bersedih dan tak normal hidup mengurus diri. Mengambil semua sub-project untuk mematikan rasa kehilangan adalah kartu AS-ku. Kebetulan sepekan ke depan, tidak ada monev yang harus dilakukan. Segera aku mengambil cuti dua pekan. Aku hanya perlu meyakinkan diri, bahwa dunia akan baik-baik saja. Kepulangan ini akan mengisi kembali jiwaku. 

“… Next destination, Owen Roberts station …” Petugas kereta menyadarkan aku untuk segera bersiap turun. Aku merekatkan kembali mantel untuk menghangatkan diri dan memasukkan tablet ke dalam ransel. Jam tangan menunjukkan pukul 08.10 waktu setempat. Masih ada dua jam lagi sebelum pesawat British Air take off. Waktu yang cukup untuk sejenak memejamkan mata dengan kesejukan udara di pulau ini. “Ma, Arsya sudah check in”. Begitu pesan pendek yang kutulis melalui pesan daring. Sejak surat cuti turun, segera kupesan tiket untuk perjalanan pulang-pergi. Kukirim salinan tiket ke surel mama sebagai bukti bahwa aku tak lagi beralasan untuk menunda pulang. *

*Diambil dari Pekan Karya ke-2


Post a Comment

Lebih baru Lebih lama