Oleh: Hamimeha
Ilustrasi sumber: pixabay.com |
“Dalam
sejarah sastra Indonesia, belum ada satu pun organisasi atau komunitas (sastra)
yang
kiprah dan kontribusinya begitu menakjubkan, sebagaimana yang pernah dilakukan
FLP. FLP
telah membuat catatan sejarah sastra Indonesia dengan tinta emas!” -Maman S
Mahayana.
Duarr!
Cuplikan
kalimat di atas aku temukan dalam sebuah laman online dengan situs
flpkita.wordpress.com.
Sekilas tampak "wow", namun demikianlah adanya. Faktanya, di
sepuluh
tahun pertama organisasi besutan mahasiswi UI di tahun 1997 itu telah
beranggotakan
ribuan orang yang siap untuk digembleng menjadi penulis.
Koran
Tempo, salah satu media berwibawa di Indonesia, menyebut FLP sebagai sebuah
‘Pabrik
Penulis Cerita’! Ini adalah salah satu deretan pengakuan dari berbagai media
atas
hadirnya
FLP di kancah literasi negeri ini. Jadi, apakah "muluk" ungkapan dari
Maman S
Mahayana
di atas?
Izinkan
aku berbagi mimpi dengan kalian. Tentang mimpi dan sebuah harapan saat aku
bergabung
bersama organisasi fenomenal di tahun akhir 90an ini. Yang kata Taufiq Ismail,
"FLP
adalah hadiah Tuhan untuk Indonesia."
Benarkah?
Sekilas Sejarah Lahirnya Forum Lingkar Pena
Dua puluh
lima tahun yang lalu, tepatnya 22 Februari 1997 lahir inisiatif untuk membuat
wadah
untuk menampung potensi para penulis muda yang kerap tak tersalurkan
dikarenakan
minimnya pembinaan untuk meningkatkan kualitas tulisan. Padahal, mereka
menyadari
bahwa tulisan merupakan media yang cukup efektif untuk menyampaikan
gagasan.
Ah, aku
bisa membayangkan bagaimana kondisi setahun sebelum reformasi itu. Akan tetapi
didorong
dengan kebutuhan mendesak masyarakat akan bacaan yang bermutu serta diskusi
tentang
minat baca di kalangan remaja. Maka lahirlah organisasi kepenulisan Forum
Lingkar
Pena, sebagai
badan otonom Yayasan Prima. Diketuai oleh Helvy Tiana Rosa berjuang
bersama 30
anggota yang lain rutin mengadakan kegiatan kepenulisan.
Di enam
tahun pertama FLP semakin berkembang dengan lahirnya FLP-FLP cabang di
berbagai
wilayah. Tak hanya itu, tercatat di tahun 2003 anggota FLP telah mencapai
ribuan
dengan
proses perekrutan melalui Majalah Annida. Ya! Majalah Annida adalah majalah
fiksi
Islami di
bawah pimpinan ketua FLP saat itu. Melalui majalah ini karya serta info seputar
FLP dimuat
sehingga bisa tersebar luas.
Yup!
Kita bisa
merasakan betapa euforia kelahiran FLP di tanah air ini adalah berkah di tengah
peliknya
literasi yang sangat miskin di negara berkembang. Kehadiran FLP membawa angin
segar
untuk melahirkan penulis-penulis baru dengan karya yang tak biasa. Sebab
semangat
yang
dibawa oleh para penulis FLP adalah membagi seberkas cahaya bagi para pembaca
dan
menganggap kegiatan menulis adalah bagian dari ibadah.
Mengesankan
bukan?
FLP dan Mimpi-Mimpiku
"Aku
ingin menjadi penulis dan berbagi manfaat dari apa yang aku tulis kepada
pembaca,"
kataku
dalam hati. Saat aku mengetahui bahwa aku sangat senang sekali menulis. Bahkan
sejak di
bangku sekolah dasar, aku seringkali menulis tentang apa yang aku rasakan hari
itu. Hal
berkesan apa yang aku lalui.
Meski
akhirnya tak kulanjutkan dan kemudian terhenti. Namun panggilan jiwa menulis
itu
terkuak
kembali saat aku merantau. Dalam waktu empat tahun aku memiliki buku diary
berisi
curhatan sekaligus nasihat. Tulisan itu aku tulis secara pribadi dan saat
kubaca
kembali
seakan mendapat taujih untuk diriku sendiri.
Seiring
berjalan waktu, kecintaanku pada buku juga semakin bertambah. Rupanya aku lebih
rela tak
jajan hanya untuk membeli buku incaran. Ah, begitu naifnya aku dengan buku.
Akan
tetapi
itulah faktanya, bagiku yang hanya anak pedagang biasa dan membeli buku bagiku
adalah
barang mewah.
Ya, aku
tak malu jika mengakui bahwa membeli buku adalah hal istimewa bagiku. Dan di
titik inilah aku menyadari, "Kenapa aku tak menulis bukuku sendiri?".
Sebuah mimpi konyol
seorang
mahasiswa baru dari kampung. Namun Sang Pemilik Takdir seakan menyambut
mimpiku
itu.
Di tahun
2011, atas izin-Nya aku dipertemukan dengan Mbak Sinta Yudisia dan bergabung
bersama
lingkaran kecilnya bernama Pelita. Dari kawan di Pelita, aku diperkenalkan
dengan
Forum
Lingkar Pena Surabaya. Siapa sangka, jika sejak itu hingga delapan tahun
berlalu
aku bisa
tergabung dalam organisasi yang pernah fenomenal ini.
Mimpiku
menjadi penulis bagi bukuku sendiri terwujud. Meski masih buku keroyokan aku
merasakan
aura berbeda dari setiap karya yang disajikan oleh anggota FLP. Meski bukan
buku yang
antologi pertamaku, namun aku menuliskan nilai rasa yang berbeda saat
berkarya
bersama FLP.
"Memeluk
Cermin" adalah sisi hitam dalam diriku yang akhirnya bisa aku tuangkan di
dalamnya.
Ada nasihat untukku dan gadis kecil yang senasib denganku. Ada nilai keimanan
dari
cerita perih yang terbungkus di dalamnya. Ya, inilah yang mungkin dirasakan
oleh para
awak media
dan para pengamat sastra akan lahirnya Forum Lingkar Pena di Indonesia.
Literasi
keberadaban.
Karya yang
tak hanya mengedepankan nilai jual tren, namun bacaan berkualitas untuk
para
pembacanya. Sebuah tulisan yang berisi kemarahan namun tetap bisa diolah dengan
diksi yang
sopan. Tak hanya bicara tentang sisi kemanusiaan, melainkan nilai keimanan
seorang
hamba pada Tuhannya.
Aku
berharap mimpiku yang merupakan harapanku kepada FLP masih sama. Terlepas dari
tantangan
zaman yang semakin merajalela, sebab isu literasi kini semakin seksi. Banyak
pihak
menjadikannya topik yang asyik untuk dikomersilkan. Aku berharap FLP bisa tetap
melangkah
ke depan dengan membawa visi yang sama yakni membangun Indonesia cinta
membaca
dan menulis serta membangun jaringan penulis berkualitas di Indonesia. FLP
sepakat untuk menjadikan menulis sebagai salah satu proses pencerahan
masyarakat/ummat.
Aamiin.
Allahu Akbar!
Pekan Karya: Edisi 16
Tema: Aku dan FLP
Posting Komentar