Perpustakaannya Masalah Orang Minang

Cover























 Judul BukuPersiden (Novel Unggulan Dewan Kesenian Jakarta 2010)
 Penulis Wisran Hadi
 Kategori Novel
 Tebal Halaman 377
 Penerbit Bentang

 

Sebelum membaca buku ini baiknya Saudara menyiapkan hati, menyiapkan emosi, serta perut jangan dalam posisi terlalu kenyang. Sebab pada takaran susunan huruf di dalam buku ini, jiwa dan perut Saudara bisa jadi akan digelitik sampai habis, kalau pun buku ini belum berhasil menggelitik Saudara, maka buku tulisan almarhum Wisran Hadi ini akan dengan sak karepnya sendiri menarik ulur emosi Saudara.

Judulnya “Persiden.” Ingat Persiden, bukan presiden.

“Kok judulnya ‘Persiden’? Kenapa bukan ‘Presiden’ saja?” barangkali itu yang membikin Saudara penasaran. Tapi rasanya kurang menarik kalau disebutkan di sini kenapa judul bukunya kok begitu.

Dalam novel ini, Wisran Hadi gemar betul menyapa pembacanya dengan sebutan “Bung”. Nampaknya beliau berusaha dengan getol supaya pembaca merasa sedang berdialog dengannya. Usaha untuk mengalihkan keindahan, kebahagiaan, kejengkelan dalam berkomunikasi lewat lisan kepada susunan huruf tidak selamanya memuaskan, rupanya itu sudah terjadi sejak dulu dan tanpa pandang bulu. Tak peduli sastrawan, pengarang atau penulis senior sekalipun tiada akan luput pada hal itu.

Wisran Hadi dalam novel ini seolah sedang berusaha membangun perpustakaan masalah orang Minang untuk khayalak umum, atau kalau kata Sapardi Djoko Damono dalam pengantarnya di buku ini menyebutnya “Ensklopedi Masalah Orang Minang”. Di buku Persiden ini Saudara tidak hanya akan merasa sedang diajak mengobrol, tapi juga akan merasa sedang diajak bedagelan ala orang Minang dalam menyikapi sebuah masalah. Lewat gayanya yang sarkastis sok melankolis, Wisran hadi berhasil menyuguhkan sebuah karya sastra yang sarat akan realita.

Pada salah satu halamannya, Wisran Hadi menjadikan salah satu tokohnya sebagai boneka benang untuk menyampaikan argumennya pada pembaca. Mari kita simak penggalan paragraf berikut ini:

Dengan mulut berbuih-buih seperti kuda kepayahan berlari menarik bendi yang berat muatan, Pa Mikie berusaha melepaskan semua kekesalannya sembari meyakinkan  Pa Tandang bahwa persoalan Malati tidak dapat disamakan dengan cerita sinetron atau opera sabun yang selalu ditayangkan setiap hari di televisi. Cerita sinetron meskipun berusaha mendekati kenyataan, cerita itu tidak pernah berhasil mengangkat hakikat dari kenyataan itu sendiri karena tidak menyentuh masalah-masalah adat, agama, dan budaya secara lebih konsepsional serta mendalam. Cerita sinetron hanya impian-impian orang miskin terhadap kehidupan yang mewah dan kaya. Kehidupan orang-orang super kaya yang sudah kacau balau rujukan adat, agama, dan budayanya. Cerita sinetron secara perlahan dan pasti adalah cerita yang membakar-bakar nafsu agar orang berbuat zina. Setiap anak yang lahir di luar nikah dalam cerita-cerita itu selalu dibenarkan kehadirannya dengan berbagai alasan sosial, politik, dan ekonomi, bukan berdasarkan hukum-hukum agama (yang dipermasalahkan di sini bukan bayinya, tapi cara atau jalan yang ditempuh orangtuanya dalam menghasilkan bayi tersebut).

Wisran Hadi juga mengajak pembacanya supaya tidak lupa terhadap apa yang pernah terjadi di masa lalu. Mari kita simak sedikit apa yang diungkapkannya:

Menurut Pa Tandang, cerita-cerita tentang guru mengaji menghamili muridnya sendiri adalah cerita yang sengaja dibuat oleh orang-orang yang tidak suka dengan agama Islam. Mereka sengaja merusak citra Islam melalui cerita macam itu. Guru mengaji, anak-anak yang belajar mengaji, ustadz garin, bahkan ulama selalu dijadikan sasaran pemberitaan dan cerita-cerita miring untuk memojokkan Islam. Betapa banyak cerita semacam itu yang muncul saat-saat komunis berkuasa. Cerita tentang Malati seperti itu mungkin sengaja disebarkan untuk memburukkan guru-guru mengaji dan ulama. Apalagi Malati adalah cucu dari seorang ulama terkenal pula. Munculnya cerita itu merupakan pertanda bangkitnya kembali orang-orang yang ingin menghancurkan Islam.

Pada akhirnya, buku yang ditulis dalam kurun waktu kurang lebih sebelas tahun ini (1999 – 2010) seolah melempar pernyataan pada pembacanya, “Apa definisi adat, apa definisi kampung halaman, apa hakikat bersaudara, berkeluarga, bersuku, bernegara serta seberapa lama manusia bisa menanggung sebuah  rahasia?” ya tentu saja secara lebih terang yang menjadi fokus masalah di sini adalah tentang keminangan, kebagonjongan serta ragam lika-liku masalah yang khas orang Minang era pra modern. Dan sudah barang tentu, jangan menggunakan pakem modern versi umum ketika mencerna tulisan ini, atau Saudara akan terpeleset. Hati-hati.

*Ibra Maulan Tigotsulatsi


*Ibra Maulan Tigotsulatsi

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama