Mengintip Cerita di Sumenep

DSC03411Sudah lama sekali kaki ini mendambakan untuk bisa menjejaki kota yang terkenal akan petis dan olahan lautnya itu.. Kota yang dikenal dengan cirikhas bahasa, kota yang dikenal dengan ragam budaya.

Well, dimulailah dengan perjalanan saya menuju ke Perak, rumah salah seorang teman saya.  Kami memutuskan untuk berkumpul dirumahnya. Meski pada awalnya saya sedikit ragu, jarak lumayan jauh dari tempat saya, lagi-lagi transportasi menjadi alasan kuat memberatkan langkah. Tapi kembali pada niat, ndak boleh manja sama keadaan. Berbekal nekat. Oke, lets go!! menggayuhkan sepeda ke tempat parkir Rumah Sakit Islam Wonokromo. Duduk diantara kerumunan orang menanti bus damri arah perak. 10 menit berlalu beriringan dengan nada ponsel,  bus damri tak kunjung lewat. Lantaran tak sabar akhirnya saya tanya sama tukang becak “ Pak, bus arah Perak selain damri apa?” “O,numpakko P1, Mbak.. Sebentar lagi lewat” tukang becak itu seperti biasa selalu antusias menjawab bila ditanya soal arah dan angkutan umum.

Temans, jika kalian ingin menguji kesabaran seseorang maka cukup suruhlah ia berpergian naik angkot. Yang namanya naik angkutan umum itu sama saja menunggu sesuatu yang tidak pasti, tidak pasti waktu kapan lewatnya dan miris sudah nunggu berjam-jam tidak pasti lewat.. Semacam PHP (pemberi harapan palsu). Yaa, seperti naik bus arah ke Perak ini, menanti dengan hati gelisah dan wajah kusut. Belum lagi musti ribut sama dering ponsel dari beberapa teman “Mbak, sudah sampai mana?”.  Begitu terus sampai 20 menit berlalu, alhamdulilah akhirnya saya menemukan bus p1.

Dan mengesalkan itu kalau kita sudah gopoh (tergesa-gesa) lantaran terlambat, diributin sama deringan ponsel tapi ternyata ada satu orang yang masih belum datang.Glodaaaaaakkk.. Hingga akhirnya jadwal keberangkatan kami molor dari yang jam setengah 10 jadi jam 11..  Inilah tradisi Indonesia yang tak pernah punah.

Rute pertama adalah melewati suramadu, jembatan panjang yang menghubungkan pulau jawa dan Madura. Jembatan dimana selain menghubungkan jarak, pun sebagai pengerat silaturahim hanya dengan ongkos tol 30 ribu bagi pengguna roda empat dan 2 ribu untuk roda dua alias sepeda motor kita bisa masuk Madura hanya dengan 20 menit, lebih praktis dibandingkan dengan kita nyebrang kapal.

Banyak sekali orang yang memanfaatkan jembatan ini sebagai kunjungan wisata, dulu saya masih ingat betul betapa kagumnya mereka akan kegagahan jembatan suramadu ketika awal dibangun sampai-sampai mereka rela berhenti dan berfoto ria, hingga akhirnya polisi mengetatkan aturan dilarang berhenti mengambil kamera (foto) karena dapat menganggu perjalanan.

Sepanjang jalan Madura mata ini tak rela untuk terpejam sedikitpun. Maklum saja saya sudah lama ngidam pingin jalan-jalan ke Madura. Selain bahasanya yang eksotis pun budayanya yang membuat saya sangat penasaran. Seperti apa sih Madura itu? Lalu bagaimanakah masyarakatnya? Mengapa sebagian orang memandang negatif dan tak jarang menilai sebelah mata.

Dari perjalanan menuju Sumenep tiba-tiba Pak supir, wah saya lupa namanya. Mengajak kami nonton karapan sapi. Beliau memang asli orang Madura jadi antusias mengenalkan kotanya pada kami. Meski waktu sebenarnya sudah mevet sedangkan si tuan rumah dari tadi sudah ribut diponsel “Nonton sebentar saja mbak, paling 15 menit, eman kalau sudah sampai sini gak nonton karapan sapi, yaa? “Nadanya setengah paksa. Akhirnya kami mengiyakan. Kapan lagi niih nonton karapan sapi live. biasanya cuman bisa lihat di tipi.

Jujur, hati saya teriris-iris  ketika melihat sapi yang imut-imut dan cakep itu dipecuti (cambuk). Kata pak sopir sebelumnya malah sudah diberi ramuan jamu, pantatnya dikasih balsam supaya sapi terpacu untuk  lari cepat, didampingi bocah cilik dibelakangnya sambil mencambuk pantat sapi  merangsannya agar berlari lebih cepat sampai garis finish.  Karapan sapi memang budaya khas dari Madura yang seiring perkembangan jaman tetap kokoh bertahan, selain itu karena hadiahnya menggiurkan kata pak sopir bisa sepeda motor atau senilai uang jutaan. Namun hati siapa yang tega melihat para sapi itu disiksa? Aah, kembali pada budaya yang terkadang tidak terlalu mementingkan perasaan.

Karapan sapi selesai, masuk jam makan siang. Pak sopir mengajak kami makan soto Madura. Awalnya saya tidak begitu tertarik karena di Surabaya pun banyak yang jual soto madura dan saya sudah pernah merasakan. Namun lagi-lagi pak sopir menyakinkan “Beda mbak, soto Madura yang jual di Surabaya, ini bener uasli”. Benar ternyata, saya tidak menemukan soto ini di Surabaya. Sotonya unik ada remahan rempeyek, dan sepertinya cocok dimakan tanpa nasi.

Well, perut kenyang, hati senang itu tampak dari raut wajah teman-teman begitupun dengan saya. Pak sopir tetap menjalankan tugas melajukan kendaraannya. Sumenep, Iam coming…

Takjub ketika masuk di kota ini, kota yang dikenal akan keratonnya, Sumenep Lebih rame dibanding kota Madura lainnya. Kota yang asri, tenang, menyenangkan. Kota ini mengobati persepsi saya akan Madura yang gersang, belum lagi ketika sampai di rumah teman  yang sedari tadi memantau perjalanan kami, disambut dengan keramahan keluarganya dengan berjejer toples-toples makanan dan beberapa teh  botol..#ups, gagal fokus..

Jadi kapan kita kepantai? Pertayaan itu tak pernah henti menggelaut dipikiran..

Oke, sekarang saatnya ke pantai lombang atau  dengan istilah cemara udang. Kata Noevil teman saya yang menjadi tuan rumah, hanya ada dua pantai cemara udang, satu ada di Malaysia dan Madura ini, iyaa, di Sumenep.  Untuk menuju ke pantai lombang membutuhkan waktu setengah jam dari rumahnya. Jalannya sedikit syerem, berkelok-kelok. Kanan kiri hutan, tak jarang rumah penduduk.

Pintu masuk pantai lombang, si tuan rumah berhenti. Nampaknya Ia sedang melakukan negosiasi agar kami bisa masuk tanpa mengeluarkan uang karcis. Cerdas, negosiasi berhasil! Kami masuk tanpa mengeluarkan uang.

Terbayar sudah rasa lelah perjalanan dari Surabaya- Sumenep yang memakan waktu kurang lebih 5 jam. Terhempaskan seluruh perasaan, tertumpahkan seluruh kekesalan, kegalauan, kejenuhan dari setiap hembusan nafas panjang setiap kali memandangi birunya laut, disambut dengan sunset, sesekali ombak yang nampaknya manja pada kami, menghampiri mengajaknya bermain. Tak peduli baju basah, kami begitu menikmatinya sambil jeprat jepret mengabadikan momen manis ini.   Sungguh, senja ini begitu cantik. Terpukau, iyaa. Saya sangat terpukau akan pantai lombang ini, begitu pula dengan pohon cemara udang. Cantik sekali..

Matahari meredupkan cahayanya, ia pulang berganti malam, sayup-sayup terdengar suara adzan maghrib sebagai tanda bahwa kami harus segera pulang, istirahat sejenak, esok akan ada cerita yang lebih eksotis di pulau ini..

Lagi-lagi saya menemukan sebuah potret kehangatan dalam rumah ini. Orang-orang yang ramah menyambut tamu dengan senyuman dan kerenyahan berbicara, orang-orang yang tulus menjamu para tamu yang sedang kelaparan tingkat akut. Hingga kehangatan itu membuat kami lupa sebagai tamu,  melahap semua masakan yang terhidang.

Keesokan paginya, lidah kami kembali dimanjakan dengan sepiring kue khas Sumenep yaitu apen, sebenarnya sama seperti apem hanya saja cara penyajiannya yang berbeda. Apen tadi dimakan dengan kuah santan yang diberi gula merah, semacam kuah serabi. Hmm lidahpun kembali menari-nari menikmatinya, pas untuk sarapan, pengantar perjalanan kami menuju keraton. Sempurna!

Sambil olahraga meski sudah kesiangan, kami menuju keraton by sikil (jalan kaki), menikmati tiap jalan kota Sumenep, hmm. Kota yang asri. Pantas saja jika kota ini mendapatkan penghargaan adipura. Masuk ke keraton, teman saya mulai beraksi memunculkan kata-kata saktinya agar kami bisa masuk tanpa bayar karcis. Luar biasa, ternyata teman saya ini sewaktu SMA pernah menjadi duta wisata dan budaya istilah maduranya Kacung kalau di Surabaya Cak dan Ning. Jadi hampir semua tempat wisata yang berkarcis akan jadi gratis kalau ngajak si Noevil.

Di Keraton, saya menemukan nilai religi yang begitu kental. Terbukti dengan adanya Al Quran yang ditulis sendiri oleh raja sumenep Sultan Abdurrahman. Tulisannya bagus, rapi seperti al Quran cetak. Dulu, beliau menulis Al Quran ini untuk dibaca sendiri.. Kesibukannya tak membuat beliau jauh dari Tuhannya. Wajarlah, jika rakyat Sumenep ini adem tentrem. Ini mungkin yang dinamakan keberkahan. Sekarang, apakah masih ada pemimpin yang mau menulis Al Quran seperti Sultan Abdurrahman?

Di dalam Keraton juga kami mengunjungi tempat pemandian para ratu jaman dulu, masih terdapat air yang konon, jika membasuh muka dengan air itu akan awet muda. Air ini meskipun musim kemarau panjang tidak pernah kering. Aah, saya sih tidak percaya mitos begituan, tapi tak ada salahnya jika wajah ini bisa merasakan kesegaran air Keraton…

Sebelum keluar dari pintu Keraton, teman saya ini menunjukkan pohon. Katanya sih serem, bukan karena ada hantu atau sejenisnya, melainkan pada akarnya yang tumbuh seperti bentuk (maaf) alat kelamin laki-laki. Sebuah mitos lagi, bagi kaum perempuan yang mememgang sambil meniatkan doa agar dimudahkan jodohnya, maka akan segera mendapat jodoh. Naah! Untuk yang satu ini saya tidak berani megang, hanya melihat saja. He-he-he

Keluar Keraton, kami dibuat penasaran dengan odong-odongnya yang berbeda dari odong-odong kebanyakan daerah. Bentuknya gagah, besar ada yang berbentuk macam naga, donal bebek dan tokoh kartun lainnya. Oke, lupakan umur. Kami semua naik odong-odong termasuk para lelaki itu, hanya 3 ribu rupiah, kami diajak keliling Keraton.

Turunlah kami di masjid Jami’, ke Sumenep rugi enggak ke masjid agung. Jaraknya yang dekat dengan Keraton karena dahulu, para raja ini jika sudah waktunya sholat maka akan di kawal ke masjid Jami’, tekstur bangunanya masih asli berbau tempo dulu. Setelah puas berfoto ria dan sholat duha, kami pulang bukan lagi by sikil, nampaknya kaki ini sudah terasa lelah ditambah dengan teriknya matahari akhirnya kami naik becak. Oh iya,  Sebelumnya kami sempat singgah sebentar ke taman bunga. Jauh dari bayangan saya, taman ini hanya sebuah nama yang mungkin dijadikan sebuah doa, bunganya belum tumbuh subur, yang tumbuh hanya orang-orang penjual kaki lima, sepasang muda-mudi anak gaul Madura yang menikmati masa mudanya.

Perjalanan masih panjang, kami berkemas, pamit pulang pada keluarga si Noevil. Rute selanjutnya adalah makam raja. Bukan hanya raja saja namun yang berketurunan ningrat jika meninggal akan dimakamkan disana. Sejujurnya ada tempat yang lebih menarik lagi, makam dalam goa. Namun sayang, para lelaki itu tidak mengijinkan kami untuk ikut karena medan yang terlalu bahaya untuk wanita. Belum diketahui itu makam milik raja siapa atau keturunanya karena memang keberadaan makam itu masih misterius sedangkan waktu terus berpacu cepat menuntut kami segera beranjak dari tempat itu.

Dipuncak perjalanan kami, inilah yang salah satunya dinanti. Kunjungan pondok pesantren Annuqayah, Guluk-Guluk, disinilah lahir para penulis-penulis hebat. Salah satunya adalah Kyai Mohammad Faiz. Pemegang pesantren, pengajar sekaligus kesibukannya bergabung dengan komunitas busmania hingga menerbitkan buku yang berjudul beauty and the bus. Bermula dari hobinya naik bus, ia menuliskan catatan perjalanan di ponselnya, setiba dirumah beliau ketik ulang. Hingga berlembar-lembar dan jadilah buku. Selain itu beliau juga aktif menulis di media masa, pernah suatu kali beliau mengirim sebuah puisi ke tujuh media masa dan semuanya lolos dimuat. Saya takjub mendengar ceritanya. Kecintaan pada dunia literasi menciptakan ide untuk mendirikan sebuah struktur kepenulisan pesantren maaf saya lupa dengan sebutan istilahnya yang pasti beliau mengajarkan santrinya untuk mencintai buku dan dunia tulis menulis. Taufik Ismail pun pernah berkunjung ke pesantren ini, hanya untuk silaturahim dan membagi ilmunya pada santri Annuqayah, selain Taufik Ismail masih banyak penulis hebat yang berkunjung. Kyai Faiz pun memfasilitasi para  penulis yang  ingin dibedah bukunya dihadapan para santri-santri..

Dari kyai Faiz saya sempat bengong dan kagum dari beberapa pernyataannya tentang buku yang dijual semua berharga dua puluh ribu rupiah. Hati ini terkadang suka perang dengan pikiran, ada rasa senang sekaligus sedih sebenarnya ketika buku-buku itu dijual dengan harga murah, buatnya susah, membutuhkan waktu relatif lama namun harganya tak sebanding dengan proses.

Dibalik itu ada rasa bangga dari seorang penulis, mereka bekerja karena cinta. Penulis adalah sebagai pekerjaan. Iyaa, bekerja menebar manfaat kepada seluruh pembaca. Ia tulus memberikan ilmunya, mengajarkan kebaikan ke seluruh penjuru dunia yang membaca karyanya.

Terima kasih kepada Noevil beserta keluarganya yang sudah menjamu kami. Kalian telah mengobati persepsi tentang Madura yang panas, gersang dan angkuh dalam bersosial.

Allah telah turunkan surga kecil di tempat ini. Suasana meneduhkan, kekayaan alam serta budayanya, keramahan penduduknya dan pekat akan religi membuat saya terpesona akan kota ini. Kota keraton, pulau garam, Sumenep-Madura. Semoga kelak, masih ada pemuda yang mau meneruskan perjuangan para leluhur yang telah memakmurkan pulau ini, membuktikan bahwa Sumenep-Madura itu pulau yang hebat lagi kaya akan segalanya, hingga tak ada lagi orang yang memandang sebelah mata.


*Agustha Ningrum




Post a Comment

Lebih baru Lebih lama