Buya Hamka Berbicara tentang Perempuan: Penyangga Rencana Masa Depan
























buya hamka berbicaraJudul
PenulisProf. Dr. Hamka
PenerbitGema Insani
Tahun Terbit2014
Tebal Halaman134 halaman



Setelah ulasan ringan mengenai tulisan Hamka tentang pribadi, kali ini saya akan menjabarkan bagaimana Hamka bertutur dalam buku yang notabene adalah tulisan bersambung di majalah Panji Mayarakat era 90-an dengan tema perempuan. Ingat! ini bukan resensi.
“Jika perempuannya baik, baiklah negara, dan jika mereka bobrok, bobrok pulalah negara. Mereka adalah tiang, dan biasanya tiang rumah tidak begitu kelihatan. Namun jika rumah sudah condong, periksalah tiangnya. Tandanya tianglah yang lapuk”. Begitulah tulis Hamka mengutip perkataan yang sering kita dengar.
Hamka ingin menunjukkan  pentingnya perempuan dalam kehidupan, tidak hanya sebagai pelengkap namun juga sebagai inti dalam membangun peradaban. Tulisannya dalam buku ini tidak akan menjelaskan mengenai perempuan sebagai individu yang selalu dikuasai perasaan dalam berpikir dan bertindak, melainkan menjelaskan mengenai peran perasaan dalam setiap tindakan. Perempuan tidak didefinisikannya sebagai makhluk lemah, melainkan penguat saat bagian dirinya yang lain mulai menyerah.
Bagian dirinya yang lain?Ah iya!Saya hampir lupa, seharusnya saya menjelaskan diawal bahwa buku Hamka ini sangat direkomendasikan bagi anda yang telah menikah, bersegera ingin menikah atau sedang menyiapkan diri untuk menikah. Bagaimana tidak? Yang dijelaskan disini bukan perempuan dalam cinta muda-mudi tapi lebih banyak kepada peran perempuan dalam cinta suami-isri, dimana perempuan adalah bagian yang hilang dari laki-laki. Contoh yang diceritakan pun beraneka macam, mulai dari keromantisan ala rasulullah hingga para sahabat.
Gaya bertutur Hamka yang lembut dalam mengartikan dan menjabarkan penafsiran tiap ayat Al-Quran tentang perempuan menyadarkan kita bahwa perempuan memang tidak ditakdirkan hanya sekedar menjadi “konco wingking” lantas melepas jati dirinya dan meleburkan seluruhnya kepada pribadi suami. Perempuan tetap memiliki hak untuk menjadi dirinya setelah menikah, itulah mengapa tiap perempuan tetap dinasabkan kepada ayahnya, dan bukan pada suaminya. Seperti kata Hamka saat ditanya mengapa istrinya tetap memakai nama ayahnya dibelakang namanya dan tidak menggantinya dengan nama Hamka. Hamka pun menjawab bahwa istrinya tidak akan kehilangan pribadinya hanya karena telah bersuamikan dirinya.
Sungguh pengakuan hak yang sangat mengagumkan dari seorang laki-laki, apalagi laki-laki semacam Buya Hamka. Sebagai suami, dirinya tidak merampas apa yang menjadi hak perempuan yang ada dalam tanggungjawab dan lindungannya. Tidak mengedepankan ego karena merasa sebagai kepala keluarga.
Tulisan-tulisan Buya Hamka disini menjadi bumerang bagi para kaum orientalis dan liberalis yang gemar menggaungkan kesamaan antara hak laki-laki dan perempuan. Dijelaskannya bagaimana Al-Qur’an telah mengatur sedemikian rupa hak maupun kewajiban antara laki-laki dan perempuan. Bukan semata-mata hendak membedakan, melainkan disesuaikan dengan kesanggupan si laki-laki maupun si perempuan.
“Ketahuilah sesungguhnya, bagi kamu terhadap istri-istri kamu ada kewajiban dan bagi istri-istri kamu terhadap kamu ada pula kewajiban.” {HR Ashhabus Sunnah dan dishahihkan oleh at-Tirmidzi).
Dengan adanya hadits diatas, kita dapat melihat bagaimana tiap laki-laki maupun perempuan memikul tanggungjawab walaupun dalam bentuk berbeda.
Kalimat Buya Hamka berikut membungkam gaungnya kaum orientalis dan liberalis. “Hanya perempuan yang kurang sehat jiwanya yang akan ingkar kepada pembagian tugas seperti ini. Atau perempuan-perempuan yang gagal dalam mendirikan rumah tangga, lalu ia “kasak-kusuk” mempertontonkan diri keluar meminta persamaan hak dengan laki-laki sedangkan dia tidak kenal lagi dimana batas hak tersebut.”
Tuntutan-tuntutan akan persamaan hak yang digembar-gemborkan nyatanya sudah lama diatur dalam Islam, bahkan apa yang dinamai kemenangan kaum feminis atas terwujudnya tuntutan yang diantaranya adalah kepemilikian harta benda oleh perempuan hanya menjadi “kebanggaan-kebanggan yang membuat kita tertawa” kata Hamka.

*Dyah Ayu Pitaloka

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama