LUMPUH

Samar-samar terdengar teriakan orang-orang di saat aku terlelap setelah lelah menangis karena rasa sakit di kepalaku. Mataku sangat sulit terbuka, namun aku dapat mendengar jelas apa yang mereka katakan. Berulang kali mereka menyebut kata “Jepang” tanpa kupernah tahu bagaimana bentuk Jepang itu.
“Sih, aku lungo disek,” suara Bapak berpamitan pada Emak yang sedang mengeloniku.
“Hati-hati, Mas.” Perlahan Emak bangun dan meninggalkanku yang dikiranya tertidur.
Akhir-akhir ini sering sekali terdengar keributan, lebih sering dari biasanya. Beberapa hari lalu Lek Sunardi datang ke rumah bersama beberapa orang lainnya yang tak kutahu pasti siapa. Mereka membicarakan tentang penggerebekan terhadap Jepang yang akan mereka lakukan di Don Bosco. Beberapa orang laki-laki yang hanya kudengar suaranya saja berbicara bahwa Jepang telah kalah. Saat ini mereka sangat lemah sehingga tidak sulit melakukan penyerangan di salah satu markas militer Jepang di Surabaya.
“Mak, Bapak di mana?” terdengar suara Mas Suyit masuk ke dalam kamar.
“Bapak ke Don Bosco, ikut nggrudug Jepang.”
“Aku ikut, yo, Mak.”
“Di rumah saja, bantu Emak jaga Marini.”
“Marini ‘kan tidur.”
“Lha, iya, dijaga saja, takut bangun. Emak mau masak air dulu.”
Mas Suyit berusia dua tahun lebih tua dariku yang masih berusia dua belas tahun. Mas Suyit sangat baik, setiap pulang sekolah, ia selalu bercerita apa yang ia pelajari di sekolah. Terakhir ia bercerita tentang betapa sulitnya perkalian. Sebenarnya aku ingin ikut Mas Suyit sekolah, tapi mustahil.
Jari Mas Suyit mengetu-ketuk amben tempat tidurku. Tidak bernah i melakukan ini jika tidak sedang gelisah. Sejenak berdiri, berjalan mondar-mandir, dan kemudian duduk kembali. Mas Suyit memang sedang gelisah dengan alasan yang belum kuketahui.
“Pasti akan ada kejadian yang luar biasa ini. Sebentar lagi Jepang akan pergi, pasti Londo-Londo akan mencoba kembali.” Mas Suyit bbegumam.
Londo yanng dimaksud pasti orang-orang Belanda itu. Mereka pergi karena Jepang? Jadi, apa Jepanng itu baik, Mas? Bola mataku bergerak ke kanan dan ke kiri perlahan.
“Kalau Indonesia keembali percaya dengan orang-orang luar, kita pasti akan dijajah lagi. Kalau begini, kapan Indonesia berhenti dijajah?”
Jadi, keduanya penjajah, Mas?
Dari Mas Suyit aku sedikit memahami keadaan negariku meski aku tidak dapat melihatnya langsung. Meski buta, bukan berarti aku tidak mau meelihat, meski bisu bukan berarti aku tidak ingin bersuara, meski lumpuh bukan berarti aku tidak mau bergerak, yang ada orang tak melihat karena tak perduli, tak bersuara karena ingin aman, dan tak bergerak karena malas.
“Ningsih ... Sih ... Ningsih ...” Bapak terengah-engah memanggil-manggil Emak diikuti suara gaduh di jalan dari orang-orang yang meneriakkan, “indonesia terang, Jepang mundur.” Mendengar kegaduhan tersebut tidak hanya Emak yang berlari mengampiri Bapak, Mas Suyit yang dari tadi terlihat cemas pun berdiri menghampiri Bapak.
“Japang sudah pergi, Jepang pergi. Indonesia terang. Sekarang kita sudah merdeka, sudah benar-benar merdeka!”
“Alhamdulillah ...” sepertinya Emak langsung bersujud syukur.
“Kita belum merdeka, Pak.” Ucapan Mas Suyit memotong kebahagiaan Emak. Kini ia hanya terdiam.
Benar kata Mas Suyit, tak pernah bisa suuatu negara dikatakan merdeka bila semua keputusan berada di tangan negara lain. Beruntung keputusan Proklamasi lalu tak perlu bertanya pada pihak luar.
“Jangan sembarangan kalau bicara. Pak Karno sudah membacakan Proklamasi, Jepang juga sudah diusir. Tadi saja Bung Tomo dan yang lain sudah melucuti senjata Jepang,” Bapak bercerita penuh antusias. “Itu senjata Jepang banyak sekali, nanti Bapak mau minta satu.”
“Jepang memang sudah pergi, tapi sebentar lagi pasti akan segera ada yang mengisi tempat Jepang untuk menjajah kita lagi.”
“Kamu masih kecil, tahu apa tentang masalah seperti ini.” Mau dikata apa jika Bapak sudah menisbatkan umur seseorang menentukan pemikiran dan pengetahuannya. Meski Mas Suyit belum cukup dewasa, namun pengetahuannya lebih luas dari Bapak. Mungin karena ia sering berbicara dengan Bung Tomo saat bekerja di rumah beliau.

Hampir semua laki-laki dewasa dan pemuda diwajibkan ikut militer untuk memperkuat pertahanan negara. Benar kata Mas Suyit, setelah Jepang pergi, pasukan Inggris mulai berdatangan. Mereka mencoba mengambil alih Indonesia. Awalnya, Bapak dan Ibu melarang Mas Suyit untuk bergabung, namun tekadnya untuk memperjuangkan negaranya begitu kuat dan tidak ada yang bisa mencegahnya. Mas Suyit ngeyel dan tahu-tahu sudah mendaftarkan diri sebagai calon militer atas bantuan Bung Tomo.
Kata Emak di luar sana sedang tidak aman. Di rumah hanya ada aku dan Emak. Beruntung rumah kami lumayan jauh dari kawasan Jembatan Merah yang menjadi pusat pertempuran. Meski rumah kami cukup jauh, namun dentuman granat dan letusan suara tembakan masih terdengar jelas.
Emak memelukku erat di atas amben. Sayangnya aku tidak dapat memluk Emak juga. Tubuh Emak begitu berkeringat dan terasa kaku. Ingin rasanya kukatakan pada Emak, Emak, jangan takut, Mas Suyit dan Bapak pasti bisa mengusir orang-orang jahat itu.
Hingga sekarang, hanya Tuhan yang dapat mendengar suaraku, mendengar doaku. Meski sering bebicara tentang banyak hal, Mas Suyit pun sekalipun belum pernah mendengar jawabanku langsung.
“Sih ... Ningsih ...” suara Mbah Ijah mengetuk-ketuk pintu rumah begitu kencang. Emak yang kaget segera membuka pintu.
“Ayo pindah dulu, di sini nggak aman, Sih.”
“Anakku gimana Mak?”
“Bawa Marini, nanti biar Sudiman yang gendong Marini.”
Tidak menunggu lama, Lik Sudiman, adik Emak menggendongku. Ingin rasanya aku meronta-ronta agar bisa tetap tingga dan menunggu Mas Suyit dan Bapak. Tapi aku hanya seonggok daging mati yang hanya bisa bernapas dan membiarkan orang melakukan apa saja padaku.
Aku dibaringkan di pedati milik Paklik, Emak duduk disampingku bersama Mbak Ijah, sedangkan Lik Sudiman berada di depan dan mengendalikan pedati. Kami berjalan menuju arah barat, wilayah yang paling aman dari peperangan.
Harusnya aku dapat melihat birunya langit, namun asap-asap membuatnya menjadi kelabu. Debu-debu yang bertebangan begitu lembut hingga tak dapat dilihat, namun masih dapat dirasakan. Sama halnya para penjajah itu, dulu mereka datang dengan niat yang katanya baik. Namun jika dirasakan, semua itu dimaksudkan untuk keuntungan mereka sendiri. Niat terselubung mereka tak pernah bisa dilihat oleh mereka yang memiliki mata, namun harusnya masih dapat dirasakan, bahkan oleh seorang tunanetra sepertiku sekalipun.
Pedati Lik Sudiman terus melaju dengan kecepatan tercepat yang dimiliki sapinya. Emak beberapa kali memandangiku sembari meneteskan air mata. Tangannya memegang tanganku dan meenggelus rambutku. Ia pasti sangat khawatir pada Mas Suyit dan Bapak.
Tenang, Bu. Mas Suyit dan Bapak pasti pulang, kalaupun mereka tak kembali, Surga telah menunggu mereka.
Cahaya matahari yang hangat membuatku merasa nyaman. Tidak terasa aku mulai terlelap, apalagi goyangan kecil pedati membuatku terasa ditimang seperti waktu kecil dulu.
“Nasib yang diterima seseorang datang dari Tuhan, namun Ia berbaik hati memberikan kuasa pada manusia untuk memilih jalan hidup. Seperti halnya penjajahan ini, Mar,” Mas Suyit duduk di sebelah ambenku sembari membaca buku pemberian Bung Tomo. Laki-laki hebat dengan pidato-pidatonya yang kerap membakar semangat arèk-arèk Suroboyo telah menjadi sahabat Mas Suyit sejak Mas Suyit menjadi rewang di rumah beliau. Dari sana pula Mas Suyit dapat bersekolah.
“Tuhan saja memberikan kuasa untuk manusia agar dapat merdeka, namun manusia sendirilah yang memilih untuk menggantugkan nasibnya pada manusia lain yang kelak menjajah dirinya sendiri.”
“Tak ada manusia buta, kecuali manusia yang acuh tak acuh. Tak ada manusia lumpuh kecuali ia seorang pemalas. Tak ada manusia bisu kecuali ia hanya mencari aman. Meski kau hanya dapat berbaring, kau terus mendengarkanku, menanamkan kemerdekaan sejati dalam hatimu, dan teruslah berdoa agar kelak Indonesia kita benar-benar memiliki jiwa merdeka.”
Kini, ia berjuang dengan raganya. Ditumpahkan darahnya mewarnai Roode Brug, dikorbankan hidupnya sebagai salah satu jalan menuju kemerdekaan, meski ia tahu raganya mungkin tak akan kembali.

*Ngesti Andhamari

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama