Savanah Jiwa

 Bissmillahirrohmanirrohim. Semoga Allah menuntun tangan dan pena saya dalam menuliskan review dari karya seorang penulis yang menceritakan sebuah kisah dari hidupnya sendiri. Dimana hanya Tuhan dan dia saja yang tahu seberapa mengerikannya hari demi hari hidup yang dijalaninya dan seberapa berat tanggungan beban yang harus dipikul oleh sanak keluarganya.
Semoga Allah yang Maha Pengasih berkenan menurunkan ilhamnya, agar tangan ini dipermudah dalam menjadikan tinta dalam sebuah pena menjadi bisa tergores diatas selembar kertas dengan sempurna, dan menggambarkan maksud yang terkandung dalam buku Savanah Jiwa ini, dengan gambaran yang sebaik-baiknya dan sejelas-jelasnya. Amin ya Robbal Alamin.
Tidak ada satupun tempat di dunia ini yang paling mengerikan selain dari dunia dalam kepala para pengidap skizofrenia. Dan tidak ada keadaan yang paling sunyi dan mencekam di dunia ini kecuali kesendirian yang mencekam dari pribadi para penderita skizofrenia. Jalan yang mereka lalui adalah jalannya para penyendiri. Mereka hadapi sendiri penyakit mereka, karena hanya mereka seorang yang bisa melihatnya sedang yang lain tidak.
Mereka harus menghadapi ujian yang tidak bisa orang lain menyaksikanya. Dan mereka harus menghadapi sendiri teror yang tidak bisa orang lain merasakannya. Dalam bukunya Savanah Jiwa, sang penulis boleh saja mengatakan bahwa dirinya adalah seorang guide dari sebuah dunia "liar". Tapi setelah membaca buku ini, saya tahu bahwa realitasnya jauh lebih buruk dari itu. Bahwa kata "liar" sangatlah tidak cukup untuk mendeskripsikan catastrophe di dalam jiwa mereka.
Buku Savanah Jiwa adalah buku memoar dari ODGJ kedua yang saya baca setelah sebelumnya membaca Gelombang Lautan Jiwa karya Anta Samsara. Buku ini sendiri mengupas perjuangan seorang pemuda kelahiran Sumenep dalam menghadapi Sindrom Tourette dan Skizofrenia. Pemuda itu bernama Kurnia Amirullah. Dalam memoarnya Kurnia menjelaskan secara rinci penyakit yang diidapnya. Mulai dari awal ketika gejala penyakit tersebut muncul, sampai akhirnya berhasil bertahan dan menyesuaikan diri dengan keadaannya hingga sekarang ini.
Buku ini sangat berguna dalam membuka wawasan masyarakat tentang gangguan jiwa. Dengan harapan menghapus stigma dan memperbaiki sistem pelayanan kesehatan bagi para ODGJ. Memoar ini juga sekaligus sebagai pembuktian, bahwa seorang yang mengidap Sindrom Tourette dan Skizofrenia masih bisa produktif dan berfungsi selayaknya manusia normal.
Tidak dipungkiri bahwa buku tentang Sindrom Tourette dan Skizofrenia yang ditulis, terutama oleh para penderitanya sendiri, adalah ibarat lentera penunjuk jalan bagi sesama penderita lainnya dan sebuah benih yang menumbuhkan harapan dalam diri keluarga yang merawatnya. Sebuah kekuatan yang bisa membantu mereka yang berjuang tidak hanya dari segi tenaga, materi tapi juga sosial ini, untuk kembali bisa menghirup kebahagiaan dan menyatukan lagi harga diri yang pecah berserak karena stigma dari lingkungan sekitar.
Seperti halnya buku-buku yang lain. Savanah Jiwa juga tidak luput dari kekurangan. Dan tidak juga buku ini sama sekali kering dari kelebihan. Kekurangan buah karya Kurnia ini terletak pada narasi dan pemilihan diksi saat menceritakan pengalamanya di hari-hari dia bertarung dengan penyakitnya. Kekurangan ini semakin diperburuk dengan berulang-ulangnya kosakata dan kurang jelasnya time line. Sehingga terkesan semrawut dan membingungkan.
Sungguh sangat disayangkan kronologi dan diksi yang tidak maksimal ini menjadi faktor utama penyebab pengalaman hidup Kurnia yang seharusnya disajikan dengan dramatis dan mendalam dari segi psikologis (waham, delusi, halusinasi, depresi, paranoid, gangguan syaraf motorik dsb) menjadi terasa datar dan dangkal. Sehingga orang yang awam tentang gangguan jiwa atau yang belum pernah berinteraksi dengan penderita seperti Kurnia tidak bisa meresapi dengan maksimal suka duka yang Kurnia alami sendiri.
Tapi ketika saya mulai memasuki bagian akhir, terutama penutup. Hal demikian tidak saya temui. Kosakatanya berubah menjadi begitu kaya dan diksinya semakin menyentuh dan tepat sasaran. Mengapa perubahan yang ibarat malam dengan siang ini bisa terjadi, saya rasa hanya penulisnya sendiri yang bisa menjawab. Itu salah satu kelebihan dari penulis. Di lain sisi. Kelebihan buku ini semakin bertambah dengan dimasukannya berbagai macam referensi, literatur dan data medis seputar Sindrom Tourette dan Skizofrenia. Hal ini sangat membantu sekali untuk menambah pengetahuan saya dan masyarakat awam tentang penyakit gangguan jiwa yang sudah terlanjur salah dipahami.
Pembaca jadi bisa mengetahui dengan sangat jelas kemampuan penulis dalam menyusun daftar berbagai macam gangguan gerak selain Sindrom Tourette seperti dystonia, cerebral parsy, parkinson, dan sebagainya. Kemampuan Kurnia dalam mendeskripsikan berbagai gangguan di atas berikut simptom dan penyebabnya saya akui sangat bagus sekali. Sangat mendetail dan tersusun dengan sangat rapi dan berurut. Pada bab ini tulisan kurnia menjadi mengalir, enak dibaca dan membuat interest saya semakin meningkat. Fakta ini menunjukkan bahwa Kurnia memiliki kemampuan lebih dalam menulis dengan format seperti buku ajar daripada dalam bentuk prosa naratif.
Buku ini juga menunjukkan bahwa para penderita gangguan jiwa ternyata sama sekali tidak tertutup jiwanya seperti bayangan orang awam selama ini. Istilah gangguan jiwa sendiri sebenarnya harus diluruskan, mengingat di negara maju yang lebih berpengalaman dalam berurusan dengan Skizofrenia, gangguan ini disebut sebagai mental ilness (lebih cenderung ke fisik) bukan soul ilness (lebih cenderung ke ruh/gaib/spiritualisme) seperti yang terjadi di Indonesia.
Ketidaktepatan istilah ini saja sedikit banyak menggiring masyarakat menjauh dari pemahaman, bahwa Skizofrenia adalah gangguan ragawi yang terjadi pada sel atau neurotransmitter di dalam otak, yang sejatinya adalah sebuah penyakit medis yang bisa dilihat dan disembuhkan dengan pengobatan modern. Bukannya semakin menggiring masyarakat pada pemahaman, bahwa orang dengan Skizofrenia adalah karena akibat kualat, hatinya busuk, karena menganut ilmu hitam, jahat, kejam, sadis, psikopat dan sebagainya.
Dalam buku inilah Kurnia menyampaikan dengan gamblang bahwa semua stigma diatas salah besar. Skizofrenia bisa menjangkiti siapapun. Tidak peduli dia kaya atau miskin. Cerdas atau pun bodoh. Saleh ataupun fasik. Semuanya bisa terkena Skizofrenia. Orang Dengan Gangguan Jiwa juga memiliki perasaan, sensitif dan peka. Juga Memiliki hobi atau kegemaran. Hanya orang-orang terdekatlah yang paling bisa mengetahui perubahaan mood mereka. Karena itulah sangat benar sekali ketika Kurnia menuliskan dalam bukunya ini bahwa keluarga adalah penunjang utama dan faktor penentu dari proses pemulihan jiwanya, jiwa orang dengan Skizofrenia.
Rumah sakit, bahkan psikiater sendiri mengakui besarnya peranan keluarga dalam menentukan baik buruknya kondisi kejiwaan pasien, jauh lebih tinggi dari peranan mereka sendiri. Disinilah cobaan dari pihak keluarga menjadi semakin tinggi sekaligus menentukan.
Tidak ada mimpi buruk manapun di dunia ini yang bisa menandingi mimpi buruk dari pihak keluarga yang merawat ODGJ. Tidak saja mereka harus mengawasi asupan obat yang harus diminum, tapi juga harus siap-siap menghadapi perilaku yang tidak terduga sewaktu-waktu, 24 jam non stop! Apalagi jika anggota keluarga yang dirawat memiliki kecenderungan agresif, maka jangankan tidur, memejamkan matapun adalah sebuah perkara yang sangat mahal dan jarang bisa dinikmati. Seumur hidup!
Belum habis penderitaan. Tidak cukup sampai di situ, di luar mereka juga masih harus menghadapi rasa malu yang teramat sangat terhadap lingkungan sekitar. Mereka harus menebalkan telinga, dingin mata, menundukkan wajah dan sering-sering mengelus dada menghadapi serbuan cibiran dan sindiran dari para tetangga, baik yang tersirat maupun yang terang-terangan. Sangat menyenangkan ketika mengetahui, sejauh saya membaca buku ini, stigma sosial yang dialami oleh Kurnia tidak seberapa berat. Dan pemasungan juga tidak sampai terjadi pada dirinya, tidak seperti yang dialami oleh sesama penderita di daerah lainnya.
Bahkan, seperti yang tertulis, perlakuan dari kedua orang tuanya, tetangganya, teman-temannya dan semua yang ada dilingkungan pendidikan tempat dia menuntut ilmu sangat mensupport Kurnia dengan sangat baik. Dukungan yang diterimanya sedikit bayak menunjukkan bahwa ada sebagian orang diluar sana yang masih mau memanusiakan para ODGJ seperti Kurnia. Lebih sangat menyenangkan sekali untuk dibaca, ketika Kurnia menuliskan pada penutup bukunya dengan momen ketika bapaknya berkata, "Selamat! Kamu sudah sembuh" Sebuah momen yang terjadi tepat beberapa saat setelah Kurnia selesai diwisuda menjadi seorang sarjana strata satu. Alhamdulillah.
Buku ini dan buku bergenre mental disorder lainnya sangat dibutuhkan kehadirannya. Setidaknya untuk membantu menggambarkan dan membuka mata semua orang tentang dunia dari para manusia yang mengidap sebuah penyakit, dimana ketika sakit dirahasiakan dan ketika sembuh tidak dikabarkan. Sehingga kedepannya perbaikan demi perbaikan menyangkut kesehatan jiwa bisa lebih maksimal dalam penerapannya. Amin.

Abdillah Setiono

2 Komentar

  1. well done, it's a great review . mas Abdill.

    BalasHapus
  2. Terima kasih mas Anto S.G.

    BalasHapus

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama