Belajar Lupa

Oleh: Ratna W. Anggraini
02 Agustus 2009
Kita sepakat bahwa hari ini, kita tetapkan sebagai hari kali pertama kita berkawan. Aku, kamu, dia dan mereka. Sehingga telah tercipta kata kita di bawah undang-undang pertemanan yang telah disepakati bersama. Atas nama kekeluargaan dan kebersamaan, pertemanan itu ada. Terjalin dan berpilin-pilin hingga ke sudut yang paling tersudut. Mengakar sampai ke sel-sel otak. Mengikrarkan sebuah janji di depan tembok lusuh belakang sekolah. Tembok yang kita coret-coret dengan berbagai warna cat. Bergambar sebuah gedung bewarna biru, dengan deretan manusia putih abu-abu yang tertawa lepas di depannya. Aku ingat betul, itu tugas pertama yang diberikan kepada kita setelah melangkah melewati gerbang besi bewarna coklat yang bersebut gerbang sekolah menengah atas. Yap, berdalih kreasi tanpa batas dengan beragam emosi kebahagiaan, kita disilakan menuangkan sejuta ide pada kanvas berbentuk tembok sekolah yang telah dibagi-bagi entah berapa meter bagian. Sepetak tembok milik kita. Hingga berakhir kata kita itulah yang membuat sepetak tembok menerima takdirnya dengan cat penuh kisah. Itulah awal dari kisah kita. K-I-T-A.
23 Desember 2009
Sebungkus tepung mendarat sempurna di tubuhmu. Rambutmu berubah seputih uban pak satpam penjaga gerbang sekolah. Tak ada suasana ramai selain di kelas kita. Kelas yang letaknya di ujung paling belakang, diapit parkiran sepeda dan kantin sekolah. Berseberangan dengan lapangan basket yang berlatarkan tembok kenangan yang kita bangun. Nyaris sempurna. Sudah pukul setengah empat sore. Para penghuni sekolah hampir semua telah kembali ke rumahnya. Hanya menyisahkan beberapa yang mengikuti kegiatan tambahan. Dan tentu saja kita. Hari ini kamu ulang tahun. Kebahagiaan atau kekanak-kanakan yang masih melekat di jiwa kita, mengantarkanmu menjadi bulan-bulanan penghuni kelas. Tepung, telur, dan guyuran air yang didapat dari kran di halaman kelas sempurna membuatmu amburadul. Kuucapkan selamat ulang tahun untukmu. Inilah kita, segerombolan anak yang masih penuh canda sebelum mengerti kata dewasa.

10 Januari 2010
Satu semester sudah hampir usai. Aku, kamu dan dia pun sudah terlanjur dekat. Mencoba mengenal apa itu yang disebut Friendship. Seperti sore ini. Selepas sekolah, aku, kamu dan dia tak langsung pulang karena harus latihan basket. Aku dan kamu punya hobi yang sama. Mungkin itu yang membuat kita lebih dekat. Sedangkan dia ... mungkin karena dia selalu ada untuk aku dan kamu, sehingga kita menjadi dekat. Saat aku dan kamu mulai saling melempar bola berwarna oranye itu, dia yang duduk di tepi lapangan akan dengan sangat antusias berteriak-teriak menyemangati kita. Dan pada akhirnya, aku dan kamu mendapatkan masing-masing sebotol air segar selepas pertandinga usai darinya.
22 Februari 2010
Dua bungkus kado kutemukan tergeletak tak berdaya di laci mejaku. Aku tahu itu pasti darimu dan darinya. Aku tak ingin membukanya. Biar saja. Karena dua hari sebelumnya, ternyata kalian sedang berdrama. Tak mau bersapa denganku. Kebiasaan yang masih tersisa dari masa sekolah menengah pertama. Ah, aku sadar bahwa kita memang masih kekanak-kanakan. Tapi percayalah, kadang kekanak-kanakan itu menyenangkan.
07 Maret 2010
Sekarang giliran dia yang berulang tahun. Aku dan kamu sudah tak ingin berdrama. Sekotak kue kita bawa bersama menuju rumahnya. Beberapa lilin telah kita siapkan untuk dia tiup setelah dia mengucapkan permohonan pada Tuhan. Biar mirip drama-drama yang sempat kita lihat di layar kaca. Gaya anak muda merayakan ulang tahunnya. Meski yang sebenarnya terjadi adalah kita merayakan sebuah pengurangan angka yang tak pernah bisa ditawar. Kita tahu benar itu, setelah mendengar ceramah guru agama di sekolah.
14 November 2011
Sudah berapa hari kita berkawan? Entahlah. Apa kita harus selalu menghitungnya. Seperti yang kita lakukan sore ini. Menghitung semut yang sedang berbaris karena hukuman terlambat datang di klub pramuka. Untung saja bukan hukuman menerjemahkan morse. Kau tahu kan, meski sudah hampir dua tahun aku bergabung bersama klub pramuka, tak pernah bisa kuhafal sandi-sandi itu. titik dan garis yang membingungkan. Tapi aku berjanji padamu, Sebelum tahun ini berakhir, akan kupastikan aku bisa menghafalnya. Tahun depan kita akan berkemah. Hanya sekadar jaga-jaga, bila kita tak seregu, lalu kamu dan dia terpisah dariku, kita akan bisa saling menemukan. Setidaknya, di situlah sandi-sandi itu akan berguna untukku.
31 Desember 2011
Kita berjanji akan berkumpul di rumahku. Membuat sebuah pesta kecil dengan alat panggang dan sekilo ikan asin, ah, maksudku ikan patin. Dan beberapa jagung untuk dibakar. Tahun baru 2012 akan datang. Itu artinya tahun terakhir kita di sekolah menengah atas. Tembok kenangan yang sudah berlumut itu, akan menjadi saksi pertemanan kita di gedung yang penuh putih abu-abu.
05 Mei 2012
Ujian akan segera tiba. Di lapangan basket kita berjanji bertemu, untuk sekadar latihan terakhir bersama. Memantul-mantulkan bola sembarangan, memasukkannya ke ring secara bergantian. Kemudian melepas lelah di atas lapangan merah itu. Hanya aku, kamu dan dia. Kemudian kita mulai sebuah pembicaraan. Mencoba merancang masa depan dengan tema “setelah lulus nanti”. Aku bilang, aku ingin kuliah. Entah darimana nanti biayanya, pokoknya aku mau kuliah. Aku suka belajar. Aku ingin mengajar. Kemudian dia bilang, dia tidak akan kuliah. Dia hanya akan bekerja lalu menikah dan punya anak. Sebuah mimpi yang sederhana. Lalu bagaimana denganmu? Apa kau akan kuliah atau bekerja. Kau jawab bukan keduanya. Aku dan dia jadi bingung. Setelah tersenyum, kau menjelaskan. Kau ingin menjadi seperti ayah dan ibumu. Seseorang yang bisa berjuang di medan perang. Jadi tentara! Itu katamu. Hah, untunglah kau tidak menjawab menjadi patung. Itu sebabnya aku lega. Karena selain basket dan pramuka. Hobimu adalah tidur. Semoga kau tak pernah tertidur saat sedang berperang kelak.
20 juni 2012
Selepas kelulusan, kita mulai sibuk masing-masing. Aku sibuk tes sana-sini. Dia dan kamu juga. Kita sama-sama berjuang meraih mimpi. Sesekali ponsel yang berkabar pada masing-masing. Lebih sering ponsel itu juga menganggur tanpa kabar dari masing-masing. Kita mulai susah membuat janji, hingga harus sering menyalahkan waktu yang berdetak dan jarak yang menjarak. Tapi aku tak pernah lupa pada setiap inci kenangan yang selalu mendekatkan kita meski jauh. Aku bersyukur, Tuhan masih percaya kita untuk terus menjaga persahabatan ini menjadi lebih indah. Tuhan telah takdirkan aku, kamu dan dia untuk bertemu. Karena kita telah sepakat tak kan pernah percaya pada kebetulan. Setiap kita dan setiap sentimentil hidup kita adalah takdir. Sebuah takdir yang indah yang tak pernah kita ketahui kapan dia akan berawal dan kapan dia akan berakhir.
16 Maret 2013
Yey, akhirnya kita bertemu kembali. Disaksikan dengan dua cangkir kopi dan segelas coklat hangat, kita mencoba bernostalgia. Menceritakan berbagai kisah yang sempat tertelan waktu. Tawa, canda, emosi, dan senyum bercampur dengan aroma kopi coklat malam ini. Bulan depan sepertinya sedikit longgar. Aku yang sudah tak sekota dengan kamu dan dia mencoba membuat perencaan untuk liburan kita. 6 Juni 2013 menjadi tanggal yang kita tetapkan untuk berlibur bersama. Kamu yang memilih tanggal itu. Katamu itu tanggal yang indah ... 6.6 dan 2+0+1+3 adalah 6. Tiga angka enam berjajar, angka yang unik katamu.. Entahlah, aku dan dia hanya bisa mengiyakan agar kamu bahagia.
04 Juni 2013
Pukul delapan malam. Ponselku berdiring. Kulihat di layarnya, itu sebuah panggilan dari dia. Segera kupencet tombol hijau dan memulai pembicaraa, “Hai, apa kau sudah rindu padaku, tenanglah besok aku akan pulang. Aku tak mungkin lupa janji kita tentang lusa” kemudian suara dia yang di ujung sana menghentikan celotehku. Dia menghentikan celotehku dengan beberapa kalimat yang membuat aliran darahku berdetak. Dia mengabarkan bahwa lusa tak akan pernah ada lagi untuk kita. Itu judul yang pilu dan menyayat telingaku yang mendengarnya. Dia kabarkan bahwa kamu tak akan membersamai kita lagi. Sebuah kecelakaan telah terjadi dan merenggutmu dari kita. Air mataku tak bisa lagi terbendung. Bagaimana mungkin ini terjadi. Bukankah kamu sudah berjanji, bahwa lusa kita akan bertemu? Nyatanya kamu mengingkarinya dengan berdalih bahwa takdir telah memutuskan. Takdir membawa berita tentang kematianmu.
05 Juni 2013
Ragaku sudah berpindah. Kini aku, kamu dan dia sudah di kota yang sama. Hanya saja dunia kita berbeda. Kamu tidur di hadapanku dan dia tanpa bisa bangun lagi. Berselimutkan kain jarik coklat, dan aku hanya bisa memandangmu. Air mataku sudah kering. Kelopak mataku terlanjur mengembang untukmu. Apa yang telah kamu lakukan pada kita. Bisakah sekali ini saja kamu mengembalikan janji kita. Setidaknya berpamitlah sebelum kamu pergi. Mungkin inilah kali pertama aku merasakan sakit yang tak bisa terdefinisikan. Sekarang apa yang bisa kulakukan dengan dia tanpa kamu. Kita berkurang satu.
11 Juni 2013
Aku dan dia menjengukmu. Sekantung doa dan kembang tujuh rupa telah kuletakkan di pusaramu. Tempat kamu berbaring dan entahlah, apa yang kau lakukan di sana. Kau tahu, bahkan dia masih menangisi kepergianmu. Katanya, pernikahannya kelak tak kan meriah jika hanya aku saja yang datang. Apa kau bisa membuatnya tak menangis lagi? Aku bingung, dia menjadi cengeng sejak kamu pergi.
04 Agustus 2014
Sudah setahun lebih. Aku dan dia juga begini begitu saja. Aku semakin sibuk dengan duniaku menekuri buku-buku. Dia juga sibuk dengan pekerjaannya. Dia sudah hampir membuka tokonya sendiri. Sebenarnya, dia ingin aku dan kamu menjadi pelanggan pertamanya. Tapi itu hanya mimpi, kau tahu jelas itu. Hanya aku yang akan datang sendiri ke tokonya. Sejak dulu dia sudah pandai menjahit. Kau ingat kan, sebelum acara 666 itu, dia telah membuat pakaian seragam untuk kita pakai. Ah, sudahlah ... mungkin kenangan itu harus kita ingat sesekali saja atau akan lebih menyakitkan jika diulang-ulang.
13 Maret 2015
Aku sudah semakin bingung mau menulis apa lagi padamu. Rasanya tak perlu kutulis, kamu akan tahu apa yang aku dan dia lakukan dari atas sana. Sudah ya ... selamat menikmati cerita dari atas.
23 Desember 2015
Hai ... aku datang lagi. Ini hari ulang tahunmu. Aku menelpon dia untuk mengingatkan. Ternyata dia juga masih ingat. Aku dan dia akan datang ke tempatmu. Tentu saja dengan bunga-bunga yang akan menjagamu. Tunggu saja di sana. Jangan kemana-mana. Selamat ....
13 Juni 2016
Dia mengabarkan kepadaku. Dia telah bertemu seseorang untuk diajak ke pelaminan. Mengarungi sebuah bahtera bersama. Dan aku ... aku akan menuntaskan ujian-ujian terakhirku, agar segera bisa menyusul kisahnya. Ah, tidak. Aku akan belajar dan mengajar dulu. Oh Tuhan, aku bahagia mendengar kabar darinya. Kamu yang di sana, juga kan? Salah satu dari kita akan segera mengakhiri masa lajangnya. Ini kabar bahagia!

29 Agustus 2016
Takdir mendatangiku kembali. Dia yang selama ini kita kenal ceria syalala terlihat tanpa beban. Kau tahu, dia telah membohongi kita hal yang sangat besar. Hari ini aku menemuinya di sebuah ruang penuh alat dan bau obat-obatan. Ruangan yang sangat kubenci. Dia sedang tidur di atas ranjang pasien saat aku datang. Calon pengantin kita sedang lemah. Tuan berjaket putih yang gemar membawa stateskop mengabarkan padaku. Sebuah kalimat yang tak ingin kudengar. Aku benci. Dia terkena kanker. Kau dengar aku? Dia terkena kanker. Tuan berjaket putih itu menambahkan “stadium akhir” di akhir kalimatnya. Hah. Puas kalian? Kau dan dia berhasil menguak kembali rasa sakit yang sedang belajar untuk kulupakan. Takdir. Aku memohon pada Tuhan untuk mengulur, agar takdir untuk kehilangan tidak datang terlalu cepat.
24 September 2016
Selamat ... di tengah apa yang telah dia rasakan. Calon pengantin sangat menyanyanginya. Menerima dia dalam kondisi apapun. Kita harus bahagia dengan itu. jangan tunjukkan kesedihan di hadapannya. Hari ini dia menikah. Ijab qabul dilakukan di ruangan penuh aroma obat. Aku tak tega melihatnya. Ini hari bahagianya. Kau tahu kan, aku harus kuat. Mencoba menghibur diri sendiri adalah perbuatan paling konyol.
28 September 2016
Aku terpaksa meninggalkannya dan kembali ke perantauan. Tapi kamu pasti tahu kan dari atas sana, aku tak pernah benar-benar meninggalkannya. Aku dan dia masih terus berkirim kabar. Mendengar suaranya di telingaku, mampu mengobati rindu-rindu yang menggebu. Dia akan menjalani pemeriksaan lagi hari ini. Kanker sialan. Apa dia akan Kau ambil juga dariku? Takdir. Kita sepakat untuk tidak pernah percaya pada kebetulan. Menerima takdir dengan hati yang lapang itu membahagiakan. Itu katamu.
01 Oktober 2016
Sekali lagi. Aku menyesal tak ada di detik-detik terakhir kalian. Hari ini kabar tentang kematian mendatangiku lagi. Aku harus bagaimana? Kamu dan dia terlalu tega untuk meninggalkanku sendiri. Aku tak pernah bisa belajar lupa. Semakin aku belajar tentang lupa, semakin aku mengingat lebih tajam. Bagaimana ini? Aku ingin belajar lupa tentang kabar sebuah truk yang telah membuatmu pergi dariku. Di jalan aku melihat truk besar yang melaju kencang, aku ingat kamu. Di jalan, beberapa kali aku melihat kecelakaan, aku ingat kamu. Di ruangan beraroma obat, aku ingat dia. Di saat bertemu para pejuang kanker, aku ingat dia. Aku tak pernah benar-benar lupa kejadian-kejadian itu. Ketika aku belajar lupa, aku takut. Aku takut kenangan tentang kita akan ikut terlupakan juga. Lalu aku harus bagaimana?
18 November 2016
Aku masih menulis. Tulisan ini bahkan masih tentang kamu dan tentang dia. Kamu dan dia yang telah menjadi kepingan puzzle kisah hidupku. Aku sadar, aku belum bisa belajar lupa dengan baik. Delapan belas November, tiga tahun seratus enam puluh tujuh hari kamu pergi dan berhenti menulis kisah tentang kita. Bahkan dia ... tak kusangka, ini sudah 49 hari dia berhenti menulis dan mengabarkan dirinya padaku. Biar saja, aku tak akan pernah lagi belajar tentang lupa. Biar saja otak ini terus mengingat. Sampai waktuku tiba. Hai kamu, bagaimana denganmu, bagaimana keadaanmu sekarang. Sudahkah kau bertemu dengan dia di sana? Semoga suatu saat, akan ada kita lagi. Entah di dimensi mana. Biar saja waktu yang terus mengekal, memberikan kita jalan menuju takdir. Sekarang kita berkurang dua. Dan hanya menyisahkan aku.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama