Posisi Pers Indonesia Dahulu, Kini, dan Nanti
By: Lathifah Inten Mahardika
Sumber: Google Image |
Kedudukan Pers sebagai pilar ke empat
demokrasi setelah triaspolitica (eksekutif, legislatif, dan yudikatif)
tidak dapat terbantahkan lagi. Pers merupakan perantara(medium) dalam
menyampaikan informasi. Pers yang dikenal juga sebagai massa comunication
(massa komunikasi) menjadi poros utama dalam penyampain gagasan, pikiran, dan
informasi baik dalam bentuk cetak maupun online.
Sebelum membahas lebih lanjut, perlu kiranya
memahami devinisi dan sejarah pers terlebih dulu. Pers sesuai dengan UU Pers no
40 tahun 1999 bab I pasal 1 adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa
yang melakukan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki
menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan,
suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk
lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis
saluran yang tersedia.
Pers Indonesia memiliki sejarah panjang nan
kelam, masih teringat jelas, pers Indoenesia mengalami masa sulit saat orde
baru(Orba). Semua media diharuskan memberitakan hal-hal yang baik saja tentang
pemerintahan di bawah pengawasan badan penerangan, bila masih nekat menerbitkan
maka akan langsung dibredel. Menyuarakan kebenaran menjadi tabu, berani melawan
nyawa menjadi taruhan. Suara dibungkam, kebenaran menjadi sangsi untuk
dibicarakan, jangankan menerbitkan majalah yang menjatuhkan pemerintah,
berbisik di rumah tetangga bisa dipenjara. Banyak yang geram namun tak ada kuasa
untuk melawan. Oleh sebab itu masyarakat Indonesia buta dan tuli akan bobroknya
birokrasi. Setelah terjadinya krisis moneter pada tahun 1997 keadaan Indonesia
semakin memburuk, nilai tukar mata uang rupiah naik hingga kisaran 12.000,
krisis terjadi dimana-mana, hingga pada bulan Mei 1998 mahasiwa turun ke jalan
memaksa Presiden Soeharto untuk mundur dari jabatannya. Setelah terjadi
kerisuhan dimana-mana, akhirnya pada 21 Mei 1998 Presiden mengundurkan diri.
Pasca revormasi hingga sekarang, pers ataupun
media bisa bernafas lega dan mulai menjamur di tanah air, seolah di atas angin terlepas
dari cengkraman Orba, banyak lembaga pers baik secara komersial dan cetak kini
sudah tidak berimbang, cenderung berpihak pada kepentingan pemangku kekuasaan,
dalam artian memberitakan hal tertentu yang menguntung kepentingan pribadi dan
begitu pula sebaliknya, bungkam dengan tidak pemberitaan yang merugikan. Memang
tidak ada yang salah dalam cara pemberitaan, selama berita masih berupa fakta.
Namun keberpihakan membuat keadaan pers semakin memprihatinkan. Jika
dibandingkan dengan keadaan pers di luar negeri, maka asas demokrasi masih
belum bisa diperoleh secara utuh di Indonesia. Wartawan maupun jurnalis hanya menjadi
“karyawan” yang tidak bisa secara bebas memberitakan jika tidak mau posisinya terancam.
Prinsip demokrasi yang tercantum pada UU Pers no 40 tahun 1999 Bab II pasal 2 menjadi
sekadar wacana. Hal ini menjadi begitu nyata saat Pilpers, Pilgub, ataupun
Pilkada. Pers bersiaga dengan “amunisi”-nya diposisi masing-masing untuk
mendukung “calon”-nya. Perang media tak terelakkan, saling membantah,
menjatuhkan, dan membanggakan yang berkepentingan. Pihak yang paling dirugikan
tidak lain adalah masyarakat, ketidakakuran dan terkotak-kotaknya pers
menyebabkan kebinguan dan menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap pers.
Lembaga Pers Mahasiswa lahir seperti oase di
padang tandus kesimpangsiuran. Sebagai satu-satunya lembaga pers yang berpegang
teguh pada idealisme dan tidak berpihak pada kepentingan perorangan atau
lembaga. Merujuk pada buku The Element of Journalism karangan Bill
Kovach & Tom Rosentiel, buku yang hingga sekarang masih relevan digunakan
dalam dunia jurnalistik ini berisi sembilan elemen yang utama yang harus
dilakukan oleh jurnalis. Elemen pertama dan yang paling penting adalah
kebenaran(truth) yang tanpa dilandasi
kepentingan tertentu (disinterested pursuit of truth).
Meski demikian Lembaga Pers Mahasiswa(LPM)
rawan pemberedalan karena kebenaran belum tentu bisa diterima semua kalangan,
tengok saja kawan-kawan seperjuangan kita yang harus menelan pahitnya
pemberedelah seperti kasus LPM Lentera dan LPM Lontar. Menurut persma.org, LPM
Lentera dibredel lantaran menelisik jejak-jejak kasus PKI(Partai Komunis
Indonesia) dan hubunganya dengan gurbernur Salatiga yang pernah menjabat saat
itu, sedangkan LPM Lontar dibredel hanya karena buletin maganger yang
menyinggung ketidaktepatan dibangunnya fakultas kedokteran. Menjadi jurnalis
ataupun wartawan memang bukan perkerjaan mudah, untuk menguak kebenaran
membutuhkan pengorbanan yang tidak sedikit, dimulai dari blacklist, bentakan,
perlakuan fisik, pemberedelan hingga pembunuhan. Dalam
catatan Aliansi Jurnalis Independen (AJI), selama Januari-Desember 2016.
Setidaknya, ada 78 kasus kekerasan dan satu kasus pembunuhan terjadi.
Berdasarkan, kategori pelaku kekerasan tertinggi dilakukan oleh warga dengan 26
kasus, diikuti oleh polisi 13 kasus, pejabat pemerintah (eksekutif) 7 kasus,
dan TNI, orang tidak dikenal, aparat pemerintah daerah (Satpol PP)
masing-masing 6 Kasus.
Namun
bukan bearti kebenaran harus terus menerus dibungkam. Posisi Pers Indonesia
termasuk Pers Mahasiswa (Persma) dahulu masih bisa bersatu melawan musuh yang
sama, yaitu rezim orde baru. Sekarang musuh itu masih ada dan harus terus
menerus diburu, yaitu ketidakbenaran, ketidakadilan, dan kesemenah-menahan.
Meski tidak sedikit “batu sandungan” yang menghambat alur pergerakan pers
Indonesia, bukan berarti mustahil pers Indonesia mampu akur dan lepas dari
bayang-bayang kepentingan di dalamnya. Untuk mewujudkan diperlukan kesadaran
dan perjuangan pegiat pers dengan idealisme tinggi. Semoga pers Indonesia bisa
kembali beridealis.
Salam Pers Indonesia!
Posting Komentar