Ketika Anak Kecanduan Bermain Game Online, Haruskah Kita Larang?

 Oleh: Thoriq Kemal

https://pixabay.com/id/photos/fortnite-permainan-komputer-4129124/
Ilustrasi: Pixabay.com

Pandemi Covid-19 kini masih menghantui kita semua, terlebih saat ini kasusnya semakin mengkhawatirkan. Banyak sektor kehidupan mulai berubah secara drastis, terutama dalam bidang pendidikan. Sebelum adanya pandemi, kita masih bisa melakukan pembelajaran secara tatap muka dan bebas berinteraksi antara guru dengan murid atau sesama murid. Pada masa itu kita belum mengenal adanya WFH (Work From Home), namun WAH (Work At Home) yaitu melanjutkan pekerjaan yang diberikan oleh guru di sekolah kemudian diselesaikan di rumah.  Apesnya mungkin ketika mendapatkan tugas matematika dan kita enggak bisa mengerjakannya, esok hari kita menyontek punya teman yang sudah selesai.

Namun pada pertengahan Maret 2020, seluruh sekolah ditutup dan wajib melaksanakan pembalajaran secara daring. Guru-guru yang pada awalnya hanya menggunakan metode belajar konvensional, seperti ceramah harus mengubah metodenya menjadi blended learning atau dengan pembelajaran daring.  Mau tidak mau, seorang murid harus lebih banyak menggunakan media belajar berupa gawai atau laptop agar bisa mengikuti proses kegiatan belajar dengan baik.

Namun belajar daring masih saja terdapat masalah, seperti tidak adanya kuota bagi siswa yang tidak mampu, gawai yang terbatas, jangkauan internet yang minim, dan ketidaksiapan guru dalam melakukan Pembelajaran daring. Karena ada beberapa yang hanya memberikan tugas kepada siswa namun ditinggalkan begitu saja tanpa memberikan penjelasan materi pembelajaran.

Pembelajaran daring membuat siswa menjadi bosan dan mereka lebih banyak di dalam rumah agar penyebaran virus tak semakin masif. Oleh karena itu banyak dari mereka mencari hiburan dengan bermain game online di gawai seperti Mobile Legend, Free Fire, PUBG dan Call of Duty Mobile. Karena banyaknya kasus anak bermain game, beberapa organisasi guru meminta kepada Kementerian Komunikasi dan Informasi untuk memblokir game tersebut.

Kemudian bagaimana sikap kita menghadapi fenomena tersebut? Jika anda menjadi orang tua apa yang akan dilakukan? Kebanyakan orang tua lebih banyak melarang anaknya untuk bermain game online dengan alasan dapat mengurangi waktu belajar, menyebabkan anak kecanduan, dan boros. Namun tak semua game online mengakibatkan dampak buruk, ada manfaat yang dihasilkannya. Dalam esai ini penulis menawarkan bagaimana sikap kita sebagai orang tua atau calon orang tua menghadapi hal tersebut.

Pertama, ajarkan untuk mengatur waktu bermain. Belajar adalah kewajiban siswa agar bisa menempuh masa depannya dengan baik. Namun kejenuhan adalah hal yang wajar bagi siapapun termasuk seorang siswa. Oleh karena itu ajarkan anak kita untuk memanajemeni waktu antara belajar, mengerjakan tugas, dan bermain game. Semisal waktu belajar saat sekolah dari jam tujuh pagi hingga dua siang. Maka kita bisa memberikan waktu kepada anak untuk bermain game dari jam tiga hingga jam enam petang. Kemudian arahkanlah dan ajarkan bahwa bermain boleh saja asalkan harus ingat akan kewajiban.

Kedua, ajarkan untuk tidak boros. Dalam beberapa game online menawarkan skin atau hiasan persenjataan yang menarik agar pengalaman bermain game menjadi lebih baik. Di Indonesia terdapat kasus seorang anak yang menghabiskan uang hampir 1 juta hanya untuk membeli permata agar bisa mendapatkan skin yang diinginkan? Apakah hal tersebut baik? Tentu saja tidak. Kita perlu mengajarkan anak untuk bersikap bijak dalam mengelola keuangan agar tidak menyalurkannya untuk membeli permata yang kurang bermanfaat. Tentu tidak dilarang untuk melakukan top up, tapi jangan terlalu sering. Ajarkanlah prinsip dalam bermain game bahwa skin tidak menentukan skill.

Dan ketiga, anak anda ingin bekerja melalui hobi? Silakan! Banyak sekali hobi yang kini menghasilkan uang. Ada beberapa streamer game yang menghasilkan uang seperti Ninja dan Shroud. Ada juga yang mendapatkan uang dengan memenangkan turnamen. Namun ingat, pendidikan adalah hal yang terpenting. Maka jangan sampai anak melupakan pendidikan bagaimanapun. *

Pekan Karya kedua, 3 Juli 2021

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama