Matahari untuk Alif

Oleh: Ratna W. Anggraini

https://pixabay.com/id/photos/matahari-terbenam-laki-laki-siluet-1807524/
Ilustrasi: Pixabay.com

    Isak tangis masih mengiringi perjalanan tiga pemuda di gang sempit. Rini berjalan dengan sesenggukan, ujung jilbabnya sudah basah ia pakai mengelap air yang berulang kali jatuh di pipi. Kondisi Dita juga sama saja, mata sembabnya tersembunyi di balik kacamata hitam yang ia pakai, tetapi ia masih mampu berusaha berjalan dengan tegar. 

    “Rumahnya masih jauh, Ar?” tanya Dita.

    “Sebentar lagi sampai.” Arya berjalan sambil melihat sekeliling. “Itu ... di sana, yang banyak orang.”

    Arya berjalan dengan tegap. Berbeda dengan kedua teman gadisnya. Arya, lelaki berkacamata itu terlihat lebih tegar. Gang yang mereka lewati begitu sempit. Kira-kira hanya muat dilewati satu sepeda motor, sehingga mobil yang mereka tumpangi tadi harus berhenti di mulut gang. Di depan gang tadi sudah ada bendera kuning yang tertancap di sisi gapuranya, melambangkan sedang terjadi kedukaan di gang itu. Beberapa orang juga sudah mengarahkan ketiga pemuda ini masuk lurus saja mengikuti gang. 

    “Temannya Mas Alif? Langsung masuk saja ... lewat sini.” seorang lelaki paruh baya mempersilakan mereka bertiga masuk.

    Rumah yang tidak terlalu besar itu, penuh dengan tamu yang sebagian besar berpakaian serba putih. Beberapa orang menunggu di luar rumah, didominasi oleh para lelaki. Sebagian tamu terlihat merapalkan doa-doa, sebagian lagi sibuk membantu tuan rumah melayani tamu lainnya, dan sebagian sisanya terhanyut dalam kesedihan.

Arya, Rini, dan Dita dengan sopan mendekatkan diri mereka menuju perempuan berkerudung hitam di sudut ruang tamu. Rini dan Dita mencium tangan perempuan itu, sementara Arya mengatupkan kedua tangannya di  depan dada.

    “Maafkan Alif ya, bila selama ini ada salah dengan kalian.” wajah perempuan itu sayu, suaranya terdengar parau, matanya sembab, hidungnya memerah, seakan telah banyak air mata yang dikeluarkan. 

    Di depan mereka terbaring seseorang bertutupkan kain jarik berwarna cokelat tua. Seorang teman baik yang meninggalkan mereka tanpa sempat pamit. 

    “Boleh kami melihat wajah Alif untuk kali terakhir, Tante?” Arya dengan sopan meminta izin. Perempuan yang mencoba tabah mendampingi jasad anaknya itu mengangguk tanda setuju. Arya membuka perlahan kain jarik yang menutupi wajah Alif. Tangannya gemetar. Sahabat yang tertidur di depannya itu, tak mungkin bangun kembali. Dia tidur dengan tenang. Wajahnya bersih dan tersenyum.

    “Masya Allah,” mereka bertiga bersamaan mengucapkan kalimat zikir. 

    Rini sesenggukan kembali. Air matanya semakin deras. Dita mencoba menenangkan dengan menggosok punggung Rini dengan pelan. 

    “Lif, kenapa selama ini kamu menanggungnya sendirian. Maafkan aku bila kurang perhatian sama kamu. Sahabat macam apa aku ini Lif, enggak tahu kondisi kamu yang sebenarnya,” suara Arya gemetar, matanya berkaca-kaca hingga kacamatanya mengembun. Air matanya jatuh juga. Ia melepas kaca mata dan mengusap matanya dengan lengan kanan. 

    “Alif ... semoga nanti kita bisa bertemu kembali Lif, di surga-Nya insya Allah.” Dita mencoba tabah.

    “Liiif ...,” Rini belum juga bisa menghentikan tetesan air matanya. “Aliiif, kenapa cepat banget kamu pergi Lif. Kamu bahkan enggak pernah cerita ke kami kalau kamu sakit, maafin aku kalau suka jahil sama kamu. Lif ... kamu udah enggak sakit lagi sekarang, kuharap kamu selalu bahagia meski kita di tempat berbeda saat ini.”

    Beberapa lelaki masuk ke dalam rumah, memberi arahan untuk memindahkan jenazah Alif ke keranda. Pemakaman sudah siap. Arya membantu ayah Alif mengangkat jenazah. Ibu Alif, Dita, dan Rini mengalungkan bunga-bunga melati yang sudah dironce ke kain hijau bertuliskan kalimat syahadat yang menutupi keranda. Keranda digotong ke halaman rumah. Seorang ustaz memimpin doa sebelum memberangkatkan jenazah. Pemakaman tak begitu jauh, terletak di gang lebar pinggir jalan, sebelah gang rumah Alif. Arya dan dua gadis itu turut mengantar ke pemakaman. Rini sudah bisa mengontrol dirinya. Dia sudah terlihat lebih tenang dari sebelumnya.

***


    Beberapa orang sudah kembali pulang ke rumah masing-masing. Kini di pemakaman hanya tersisa orang tua Alif dan adik laki-lakinya, juga ketiga teman kantornya, Arya, Dita, dan Rini. Mereka masih ingin tinggal.

    “Kak Aliiif ...,” teriakan beberapa anak kecil terdengar dari pintu masuk pemakaman yang tidak terlalu jauh dari makam Alif.

    “Adik-adik, ssst ...,” seorang lelaki muda berbaju kokoh putih, berpeci hitam, meletakkan jari telunjukknya di bibir. “Ingat adab, masa setelah mengucap salam langsung teriak.” pemuda itu tersenyum. “Kita langsung ke makam Kak Alif, lalu baca doa bersama ya.”

    “Baik Kak,” jawab mereka serempak dengan wajah yang sedih. 

    Pemuda itu berjalan bersama tujuh anak kecil seusia sekolah dasar. 

    “Tunggu Kak ...,” gadis paling kecil berlari kembali ke arah angkot yang terparkir di luar pemakaman. 

    “Apa yang tertinggal Disha?” pemuda itu bertanya pada gadis yang paling kecil di rombongan mereka, setelah gadis kecil itu kembali dari angkot yang mereka tumpangi tadi.

    “Disha bawa oleh-oleh untuk Kak Alif.” 

    Pemuda itu memperhatikan buku gambar yang dibawa oleh gadis kecil. Percakapan dan tindakan mereka masih diperhatikan oleh orang-orang yang tersisa di makam Alif. Mereka bingung, siapa pemuda dan rombongan anak-anak ini.

    “Assalamualaikum,” salam kemudian dijawab serempak oleh keluarga Alif dan teman-temannya. “Perkenalkan, saya Jihan. Dan mereka ini adik-adik binaan dari sekolah yang dibangun oleh Mas Alif untuk anak-anak jalanan.”

    Jihan menceritakan sedikit tentang mereka. Semua yang mendengar hanya bisa terharu dan benar-benar tidak menyangka Alif sudah membangun sebuah sekolah kecil. Jihan dan anak-anak kecil itu mulai berdoa di makam Alif. Semua ikut mengaminkan. Setelah itu, keluarga Alif pamit pulang. Arya dan kedua temannya masih di pemakaman.

    “Kak Alif, Disha sudah buatkan lukisan yang bagus sesuai permintaan Kak Alif. Disha sudah menunggu lama, tapi Kak Alif enggak datang-datang. Tadi pagi Om Anto datang ke sekolah, lalu semuanya menangis. Om Anto jahat, Om Anto bilang Kak Alif enggak bakalan datang ke sekolah lagi.” Disha, gadis kecil berusia lima tahun itu menangis sesenggukan. “Kak Alif, jangan lama-lama tidurnya, di dalam pasti gelap enggak ada lampunya. Ini Disha udah kasih matahari untuk Kak Alif.” 

    Disha sang gadis kecil meletakkan gambarnya di pusara Alif. Sebuah gambar sekolah kecil dengan anak-anak di depannya, terdapat gambar seseorang yang lebih tinggi menunjuk ke arah matahari yang bersinar cerah, seolah itu adalah masa depan cerah untuk mereka. Gambar yang sangat sederhana khas anak taman kanak-kanak itu mengisahkan banyak hal.

    “Maaf Mas Jihan, perkenalkan saya Arya. Ini Dita dan Rini. Kalau boleh tahu, nama sekolah yang dibangun Alif ini apakah ‘Rumah Cahaya’?” tanya Arya penasaran.   

    “Betul, Mas, Mbak.”

    Arya, Dita, dan Rini saling menatap.

    “Masya Allah, Mas Jihan, ini ...?” Dita bertanya ragu.

    “Saya membantu mengelola Rumah Cahaya bersama Mas Alif.” Jihan tersenyum, “Oh ya, adik-adik ke angkot duluan ya, sebentar lagi Kak Jihan menyusul.”

    “Baik, Kak.” Anak-anak itu menurut dan dengan sedih meninggalkan makam Alif. Terlihat Disha mencium batu nisan Alif sebelum pergi menuju angkot.

    “Saya boleh minta kontak Mas Jihan? Nanti saya mau sedikit diskusi dengan Mas Jihan, tapi kebetulan ini sekarang kami harus segera kembali ke kantor. Nanti barangkali kita bisa bertemu kembali menyambung silaturahmi,” Arya mengeluarkan ponselnya.

    “Tentu saja boleh, Mas Arya.”

***

    “Satu macchiato panas, satu caffe latte dingin, dan satu jus melon tanpa susu,” pegawai kafe meletakkan pesanan di atas meja.

    “Terima kasih, Mas.” ucap Dita.

    “Espressonya ketinggalan, Mas.” Rini mengangkat tangannya.

    Pegawai itu mengecek kembali nota pemesanan. Ia yakin semua sudah terhidang. 

    “Sudah semua ini, Kak.” sang pegawai menunjukkan nota pemesanan kepada Rini. Sementara Dita dan Arya saling menatap.

    “Eh, iya sudah semua, Mas. Maaf teman saya yang lupa. Makasih ya Mas.” Arya menoleh ke arah Rini. Rini perlahan menurunkan tangannya. Wajahnya berubah menjadi sedih. 

    “Baik, Kak. Apabila ada pesanan tambahan bisa langsung menghubungi kami.” pegawai kafe mengulas senyum dan pergi meninggalkan mereka bertiga.

    “Kita enggak pernah pesan menu yang beda setiap kali ke sini.” Air mata Rini luluh setetes. “Sekarang menu Espresso pun hilang dari daftar pesanan kita, hiks. Kenapa Tuhan enggak adil? Kenapa orang sebaik Alif harus Dia ambil di usia semuda ini? Hiks, hiks.”

    “Hussh, istigfar Rini, enggak boleh salahin Tuhan.” Dita mencoba mengingatkan. 

    “Mati itu enggak memandang usia, Rin. Adil itu enggak harus sama. Justru karena Tuhan sayang sama Alif, Dia enggak ingin Alif lama-lama di dunia yang fana ini. Sekarang Alif malah lebih dekat dengan Tuhan, kita doakan saja supaya Alif diberikan yang terbaik,” Arya selalu bisa menenangkan.

    “Alif mungkin juga enggak ingin membuat kita khawatir, sampai dia enggak pernah cerita kalau dia punya kanker. Malah di tengah keadaan yang begitu susah, dia masih bisa berbuat baik ke banyak orang. Apalagi sebelum dia pergi, dia sudah berhasil mewujudkan cita-citanya, Rumah Cahaya. Hal yang selama ini dia impikan dan dia kerjakan diam-diam. Lihatlah ... di saat kerjaan di kantor kita sedang banyak-banyaknya. Bahkan tanggung jawab dia di kantor pun, 90% terselesaikan.” Dita mengenang Alif.

    “Benar banget, aku sebenarnya sempat curiga, ketika dia kasih sisa proyek besar itu kepadaku dan mengambil cuti beberapa hari. Dia bilang aku tinggal melengkapi bagian yang mudah-mudah saja, dia bilang dia penat dan ingin mengambil cuti yang tak pernah ia ambil. Siapa yang mengira kalau cuti itu dia pakai untuk berjuang di rumah sakit, hingga akhirnya ...,” Arya tak bisa melanjutkan kalimatnya.

    Rini yang memang mudah sekali terhanyut dalam kisah-kisah sedih, tentu saja langsung menangis. Dita kembali menenangkan.

    “Assalamualaikum,” Jihan menghampiri mereka bertiga.

    Keempat pemuda itu bertemu kembali setelah satu bulan kepergian Alif.

    “Waalaikumsalam.” 

    “Akhirnya kita bisa ketemu juga. Maaf ya Mas Jihan, karena baru ketemu sekarang. Karena kebetulan di kantor sedang banyak yang harus kami selesaikan. Alhamdulillah sekarang sudah sedikit longgar,” jelas Arya.

    “Iya, enggak apa-apa Mas Arya, saya mengerti. Saya juga senang sekali akhirnya bisa bertemu dengan kalian.”

    “Iya, Mas. Jadi yang seperti saya jelaskan lewat pesan WA kapan lalu, intinya pertemuan kita ini, kami ingin membahas tentang Rumah Cahaya.”

    “Saya sudah siapkan, apa yang Mas Arya minta. Nanti bisa dicek ketika kalian ke Rumah Cahaya.”

    “Omong-omong, Mas Jihan mau pesan apa? Ini Arya yang traktir, hehe.” Dita menyodorkan buku menu pada Jihan.

    “Wah terima kasih banyak sebelumnya,” Jihan membuka-buka buku menu. “Saya Espresso, saja.”

    Rini yang sedang menyeruput jusnya mendadak tersedak. Dita dan Arya saling menatap, kemudian mereka tersenyum tipis.

    “Hati-hati dong kalau minum, gih sana pesenin Espresso, menunya sudah lengkap lagi sekarang, hehe,” Dita menggoda Rini.

    Mereka berempat merencakan tentang masa depan Rumah Cahaya dengan membuat akta pendirian rumah cahaya. Perjuangan Alif selama satu setengah tahun terakhir tak boleh disia-siakan. Ternyata selama ini Alif selalu menyisihkan waktunya untuk mengajari anak-anak jalanan untuk belajar. Bahkan dia mendanai sendiri kebutuhan Rumah Cahaya. 

    “Alif dulu pernah membahas tentang Rumah Cahaya kepada kami. Tapi mungkin kami abai sebab sudah terlalu sibuk sendiri dengan urusan kantor. Apalagi Alif tipe orang yang tidak suka merepotkan orang lain. Tapi kami juga enggak sangka kalau Alif benar-benar mewujudkan mimpinya membangun sekolah untuk anak yang kurang mampu. Aku merasa bersalah, kukira Alif selama ini enggak pernah mau ikut liburan karena memang susah buat keluar uang, tapi ternyata dia begitu peduli dengan banyak hal dan banyak orang,” kenang Dita.

    “Bahkan kami enggak tahu, di tengah kondisi yang terkena kanker, Alif masih melakukan banyak kebaikan dan menyembunyikan semua itu dari banyak orang. Aku ingat betul keinginannya, mewujudkan keadilan mendapatkan ilmu bagi anak-anak yang kurang mampu. Anak-anak itu berhak mendapatkan masa depan yang lebih baik. Mereka hanya kurang beruntung, maka kitalah yang harus membantunya. Sebab anak-anak kelas yang akan menjadi matahari, masa depan yang akan memberikan cahaya untuk negeri.” begitulah Rini mengutip beberapa kalimat Alif.

    Semua mengangguk setuju. Mereka mulai menyusun rencana, memperbaiki Rumah Cahaya, mencari relawan pengajar, membuka peluang menjadi donatur, melebarkan sayap keadilan pendidikan bagi anak jalanan di lingkungan-lingkungan terdekat. 

    “Omong-omong, Mas Jihan kenal Alif dari mana?” Rini penasaran.

    “Oh waktu itu, kami tidak sengaja bertemu di masjid, sedang ada kajian yang membahas tentang pendidikan dini untuk anak. Saya cerita ke Mas Alif kalau saya punya beberapa kenalan anak jalanan yang kadang-kadang saya ajari belajar di akhir pekan. Dari situ Mas Alif membantu saya mengajar dan akhirnya sampai menyewakan kami tempat untuk belajar. Karena awalnya kami nomaden, cari tempat yang nyaman untuk anak-anak di lingkungan itu. Memasuki tahun kedua, kami bertemu Om Anto, sopir angkot yang antar ke pemakaman. Om Anto ikut bantu-bantu di Rumah Cahaya. Kadang-kadang juga suka ajarin anak-anak otak-atik mesin, hehe.”

    “Masya Allah, skenario Tuhan memang indah.”

***


    “Om Anto, kayaknya ini ditaruh di sebelah sana aja deh, biar ga terlalu kena matahari,” Dita menunjuk pot bunga.

     “Siap, Mbak Dita.”

    Para pemuda, Om Anto, dan para anak jalanan sedang gotong royong merenovasi Rumah Cahaya. Mereka berhasil mendapatkan beberapa donatur. Bahkan ada orang baik, menghibahkan sebuah rumah untuk dijadikan Rumah Cahaya. Tuhan Mahaadil, tunas kebaikan yang ditanam oleh Alif kini telah tumbuh perlahan dan semakin bercabang. Banyak hati yang ikut tergerak.

    “Kak Jihaaan,” si kecil Disha menghampiri para pemuda yang sedang berkumpul.

    “Disha bikin kerajinan tangan, Disha bikin pigura dari karton, pinggirannya Disha sendiri yang lukis,” gadis kecil itu dengan senyum bangga menyerahkan pigura di tangannya.

    Melihat foto yang ada di pigura itu, semua menjadi haru. Itu adalah foto Alif bersama anak-anak jalanan saat sedang belajar bersama. Arya mengambil pigura dari tangan Jihan. Tangan kanannya kemudian menggandeng tangan Disha, mengajak Disha ke ruang belajar.

    “Nah Disha, di atas situ di bagian tengah sudah ada pakunya. Disha bantu Kak Arya pasang pigura ini di sana ya?”

    Disha mengangguk senang.

    Arya menggendong Disha agar bisa meletakkan pigura di tembok. Semua bertepuk tangan.

    “Adik-adik, Kakak-kakak, Om-om, makanannya sudah siaaap,” Rini berteriak dari ruang tengah.

    “Yay ...,” semua berlari ke ruang tengah.

    “Ar, sudah ada kabar?” Dita bertanya pada Arya.

    “Harusnya sih sebentar lagi sampai.” Arya mengecek ponselnya kembali.

    “Assalamualaikum ....”

    “Waalaikumsalam ... nah itu kayaknya mereka.”

    Orang tua dan adik Alif sudah datang. Hari ini Rumah Cahaya mengadakan syukuran rumah baru. Rumah ini nantinya yang akan dipakai untuk anak-anak jalanan untuk belajar. Semua berkumpul di ruang tengah untuk berdoa dan setelah itu makan bersama.

    “Ada yang ingin, Tante sampaikan.” Ibu Alif menoleh ke arah suami dan anaknya, kemudian mengamati wajah anak-anak jalanan yang ada di epannya.

    Suaminya mengangguk dan tersenyum, pertanda meminta sang istri untuk meneruskan ucapannya.

    “Satu bulan setelah kepergian Alif, beberapa orang bank datang ke rumah.” wajah ibu Alif terlihat haru. “Mereka memberitahukan beberapa tabungan dan deposit yang sudah disiapkan Alif. Alif bahkan sudah menyiapkan tabungan haji untuk kami berdua, menyiapkan deposit untuk uang kuliah adiknya.” ibu Alif mulai terisak, tapi ia masih bisa mengontrol emosinya. “Alif ... Alif juga sudah menyiapkan dana untuk Rumah Cahaya.”

    Ibu Alif menyerahkan sebuah buku tabungan kepada Arya. Arya menerima buku itu dan membukanya bersama Jihan. 

    “Masya Allah, barakallah,” mereka kompak berucap.

    Arya menunjukkan tabungan itu pada para pengurus Rumah Cahaya. Semua menjadi haru. Bahkan setelah kepergiannya, Alif masih memberikan banyak kebaikan pada semua orang yang ia tinggalkan. 

    “Adik-adik, ingat ya untuk selalu mendoakan Kak Alif dan orang-orang baik yang sudah membantu kita. Adik-adik juga harus selalu semangat belajarnya. Kalian harus ingat, Rumah Cahaya ini harus selalu bercahaya oleh semangat kalian semua. Mari kita berikan matahari yang bersinar terang untuk Kak Alif yang selalu menghidupkan semangat kita.” tutur Jihan.

    “Siap Kaaaak, kami berjanji tidak akan berhenti belajar.” ucap anak-anak itu dengan kompak. Kalimat janji itu mereka ciptakan sendiri untuk terus membuat mereka semangat.

    Semua orang yang ada di ruangan tersebut tersenyum haru dan mendoakan yang terbaik untuk Alif. Matahari untuk Alif akan terus bersinar oleh semangat anak-anak ini.

    Arya memandang foto Alif di atas tembok dan merapal lirih, “Lif, cita-citamu akan kami lanjutkan, terima kasih karena sampai akhir kamu tidak pernah lelah memperjuangkan keadilan belajar untuk anak-anak ini. Semoga kamu tenang di sana.”

***


Pekan Karya keempat, 17 Juli 2021
Ditulis untuk memperingati hari Keadilan


Post a Comment

Lebih baru Lebih lama