Diari 0708, Matilda

Oleh: Badriyah

Sumber: www.imdb.com

        Teknologi sangat membantu industri film untuk tetap berkembang di tengah pandemi yang tak juga berakhir. Sejak PPKM Level 4 diperpanjang, aku mencoba menghabiskan akhir pekan untuk maraton beberapa film anak yang dulu pernah membuatku penasaran. And, here I go. Matilda (1996) karya Danny Devito, sebuah film anak komedi asal Amerika yang sangat berkelas. 

Ada banyak alasan kenapa film ini sangat berkelas menurutku.

  1. Meski keluarga meremehkannya, dia ulet untuk menghibur dirinya agar bahagia. Yes! Matilda adalah anak bungsu. Seperti banyak cerita bungsu yang pernah aku dengar. Bungsu yang menjadi penunggu rumah. Meski dia yang siaga menghangatkan masakan Zinnia, mengambil surat di depan rumah sampai menerima paket yang datang, dia mencoba untuk berdamai dengan lingkungannya lewat membaca. Dia membaca semua majalah di rumah. Saking sedikitnya buku yang dibaca, dia rela jalan kaki 10 blok dari rumah ke perpustakaan untuk membaca buku. Usia 6,5 tahun, cuy!

  2. Banyak membaca membuatnya terasah untuk berpikir cepat dan tepat. Matilda mampu berhitung perkalian tiga digit. Setingkat lebih tinggi daripada kemampuan kakaknya, Michael. Dia menjadi mudah beradaptasi di lingkungan sekolahnya yang cukup menyeramkan bagi anak seumurannya. 

  3. Keluarga Wormwood yang konyol dan kepala sekolah yang suka menghukum membuat film ini nyata dan penuh tawa. Yok, ngacung yang dulu langganan dihukum kepala sekolah. Ha-ha-ha, aku ngacung paling tinggi deh, soalnya langganan telat. Bahkan UN pun dateng telat dengan jarak rumah-sekolah 1,2 km naik sepeda pancal. Suka banget jalan film ini karena bikin nostalgia masa SD. Gedung sekolah yang angker, upacara pagi yang penuh keusilan anak kecil.

  4. Tetap menomorsatukan keluarga meski ayah berbuat curang. Bukan karena sekadar membela ayahnya di sepanjang tim FBI menyelidiki rumah. Matilda memberi waktu ayahnya bertobat dalam berbisnis. See? Seorang anak punya nurani untuk berbuat baik meski tumbuh dari keluarga yang konyol. Membaca buku rupanya enggak sekadar memberi wawasan, apa itu baik dan buruk dalam bersikap. Tapi juga melatih imajinasi, konsentrasi, memperkaya kata, memahami struktur cerita, dan mengasah dalam merespons. 

  5. Membuat bertanya-tanya sepanjang film diputar, kok sepertinya sekolah Matilda punya kurikulum yang asik. Anak tetap belajar perkalian, mengeja kata dengan nyanyian tapi juga eksplor yang ada di sekitar (baca: ke hutan untuk belajar science). Rupanya model siklus pembelajaran dibagi empat model. Nah, kayanya sekolah Matilda ini menganut model Orff learning stages karena Honny mengarahkan murid untuk membuat imitasi (berupa karya yang ditempel di sekeliling dinding kelas), eksplorasi (bermain ke hutan untuk cari hewan dan belajar stuktur napas), literasi dan improvisasi (mengadakan persiapan pameran diam-diam) tanpa diketahui si Trunchbull. 

  6. Kado terindah Matilda adalah bertemu dengan sosok guru yang cantik dan tenang. Ya, Honney sangat mendukung Matilda dalam berkembang dan memberi kasih sayang penuh hingga akhir film ini berputar. Honney menjadi peran ibu, kakak dan teman Matilda di hari-hari setelah ia masuk sekolah. Honney berperan sebagai guru yang interaktif. Selain bertanya tentang buku apa yang disenangi oleh Matilda, ia juga mengirim buku serial favorit Matilda ke rumah. Honney cakap berstrategi untuk mengembangkan bakat muridnya. Ia sering mengutarakan pertanyaan why/how ke kelas untuk melatih anak didik dalam berpikir secara feeling dan prosedur. Desmukh dkk menyebutkan, memberikan pertanyaan why/how ke anak dapat mengasah tingkat emosional anak untuk terus mencari tahu dengan membaca. 

Selesai melihat film ini, harapanku semoga banyak anak Indonesia yang ulet dan suka membaca seperti karakter Matilda. Menjadi bungsu bukan alasan untuk hanya bermanja dan berdiam di rumah tanpa eksplorasi. Yuk, manfaatkan perpanjangan PPKM ini seperti semangat Matilda mengasah kekuatan telekinesisnya!*


*Diambil dari Pekan Karya Enam


Post a Comment

Lebih baru Lebih lama