Oleh Nur Hayati
Assalamu’alaikum wr.wb.
Bapak dan Emak yang Sineng
hormati sekaligus Sineng sayangi. Bagaimana kabar Bapak dan Emak di tanah Jawa?
Sineng berharap Bapak dan Emak selalu sehat wal afiat. Tak terasa sepuluh tahun
sudah Sineng menemani Kang Bayu di negeri rantau. Sineng sangat rindu dan ingin
betul memeluk Bapak dan Emak. Sineng
ingin sekali bersimpuh di kaki Bapak dan Emak. Melalui surat ini, Sineng mau
mengabarkan bahwasanya bulan Rajab ini Sineng akan pulang ke tanah Jawa.
Anak-anak juga ikut biar mereka tau akung dan utinya.
Sekian dulu surat Sineng.
Semoga Bapak dan Emak selalu sehat.
Wassalamu’alaikum wr.wb.
Kulipat kertas surat yang tak seberapa panjang ini dan
memasukkannya ke dalam amplop putih lalu kuberikan pada Siti untuk dititipkan
pada pak Udin. Tetesan air mata meninggalkan jejak serupa kembang ceplok yang kerap digambar emak sebagai isen-isen batiknya. Ah, aku merindukan
bapak dan emak. Andai jarak Lubuk Kumbung menuju Bojong setara dengan Surabaya ke
Jakarta mungkin aku bisa sering-sering mengunjungi mereka.
“Malaman tu Aba
datang waktu ado keghibuta (terjemahan : kemarin malam Abah datang waktu ada keributan)”
“Iya Siti saya pun mendengarnya. Semua pun telah hafal
dengan suara motor Pak Udin. Terimakasih bantuannya ya. Sampaikan salam saya pada
ibumu”
Perempuan muda itu bergegas pamit karena hari telah
malam. Seorang pemuda yang baru saja menjadi suaminya telah menunggu di depan. Hasan
dan Husein tampak membereskan beberapa barang mereka yanag tersisa. Mainan
buatan Kang Bayu untuk anak-anaknya. Mainan yang dibuatnya sepenuh hati dengan
penuh kebahagiaan, dan masih banyak lagi barang penuh kenangan yang tak mungkin
kami bawa ke tanah Jawa.
“Abang, adik, lekas gosok gigi dan cuci kaki. Kita
tidur, yuk!”
Kedua kakak beradik itu langsung menuruti perkataanku.
Tidak lama berselang, mereka sudah masuk kamar dan naik ke tempat tidurnya
masing-masing. Tempat tidur yang lagi-lagi dibuat oleh tangan ayah mereka
sendiri, Kang Bayu. Tiba-tiba aku teringat saat Kang Bayu menyusun bilah-bilah
bambu dan kayu pohon kelapa. Wajahnya begitu bersemangat. Bulir-bulir keringat
membasahi pelipisnya. Dia begitu senang saat mengetahui istrinya sedang mengandung
anak kembar. Sesaat ikut melintas wajah Mak Maringgih dalam benakku. Saat itu
dia berkata bahwa anak-anak tidak akan lama berada di pangkuan ayahnya.
“Sudahlah, Umaq
baliq dukhin. Sineng masaq pempeq tigo pighing. (terjemahan : sudahlah, Ibu
balik dulu. Sineng masak pempek tiga piring)” jawab Kang Bayu saat itu. Mak Maringgih tak
menjawab lagi tapi aku ingat betul roman mukanya yang berubah sedih dan matanya
yang berkaca-kaca.
Keesokan harinya pak Udin datang membawa kabar yang
kami nanti-nantikan. Motor butut dengan suara berisik yang meraung-raung itu
berhenti di depan rumah kami. Tak perlu memanggil sang pemilik rumah. Suara
motornya saja sudah otomatis menjadi tanda bahwa pak Udin sedang berkunjung.
“Bu Sineng, subuh
esoq kito naq pegi. Ado bongkar muat paghaq Muara Enim. (terjemahan : Bu Sineng, subuh
besok kita akan pergi. Ada bongkar muat dekat Muara Enim)”
Pak Udin langsung pamit pergi begitu melihat
anggukanku. Itu berarti malam ini kami harus bersiap-siap untuk melakukan
perjalanan jauh dengan menumpang truk pak Udin yang pastinya kurang nyaman.
Entah harus memakai transportasi apalagi selain menumpang truk ini. Itupun
karena pak Udin dan warga merasa berutang pada Kang Bayu. Kepala desa dan warga
sepakat mengumpulkan sebagian rejeki mereka untuk membiayai perjalanan kami ke
tanah Jawa.
Lubuk Kumbung sudah menjadi rumah ke dua kami. Begitu
kami menikah, keesokan harinya terbit surat tugas untuk berangkat ke Lubuk
Kumbung. Tentu saja sebagai istri, aku ingin mendampingi Kang Bayu. Meski tak
bisa membantu pekerjaan Kang Bayu di puskesmas, setidaknya aku bisa membantunya
mewujudkan taman baca di desa ini.
Hasan dan Husein telah terbiasa jamaah subuh di surau.
Itu sebabnya tak ada kesulitan ketika kami harus berangkat pagi buta. Keadaan
masih gelap, bahkan bintang-bintang masih menghiasi langit seakan ikut
mengiringi keberangkatan kami. Orang-orang berdiri di sepanjang jalan desa ini.
Beberapa dari mereka tampak menangis dan berpelukan. Lambaian tangan disertai
doa menjadi suara-suara yang akan selalu kuingat. Tak terasa air mataku pun
ikut menetes. Begitu beratnya meninggalkan desa ini. Sama beratnya seperti ketika
aku meninggalkan tanah Jawa.
Perjalanan dari Lubuk Kumbung ke Muara Enim
membutuhkan waktu lebih kurang delapan jam. Itu belum dihitung bersama bongkar
muatnya. Semoga saja Allah SWT memberikan kami kekuatan dan kelancaran. Entah
kapan terakhir kalinya aku naik mobil, truk, atau semacamnya.
Sepanjang perjalanan yang kulihat hanyalah perbukitan
dan hutan-hutan yang mulai gundul. Sayup-sayup terdengar suara gergaji mesin
yang menggema di perbukitan. Mataku terpejam karena berusaha menahan kesedihan
dalam hati. Pak Udin hanya terdiam dan melirik ke arahku yang tak bisa menahan
air mata. Belum sampai separuh perjalanan tiba-tiba truk kami dihadang beberapa
mobil. Buru-buru kuusap air mataku. Pak Udin pun tak kalah terkejutnya. Dia
khawatir ada razia mengingat bulan kemarin dua orang warga Lubuk Kumbung
ditangkap karena membudidayakan ganja di tengah hutan.
Beberapa orang berpakaian dinas menghampiri kami. Pak
Udin bergegas turun dari truk dan tampak berbicara serius. Tidak lama kemudian
datang petugas lain yang menghampiri dan meminta kami pindah ke mobil dinas
pimpinan mereka.
“Bu Sineng, dio
tu pelisi yang baeq. Ibu lakinyo pun
baiq. (terjemahan
: Bu Sineng, dia itu polisi yang baik. Ibu suaminya pun baik)” pak Udin lalu pergi bersama truknya meninggalkan
kami.
Selepas dari truk pak Udin, kami naik kendaraan dinas
yang sangat nyaman. Hasan dan Husein tampak nyaman bahkan sempat tertidur.
Kendaraan ini melaju lebih cepat dari truk pak Udin. Dua orang petugas yang
mengiringi perjalanan kami tidak banyak bicara. Mereka hanya bilang bahwa nanti
pimpinan mereka yang menjelaskan semua. Kami hanya perlu tenang dan menikmati
perjalanan.
Ba’da ashar kami bertemu dengan pimpinan mereka. Orang
yang mereka panggil Komandan itu tak berseragam, hanya memakai kemeja putih dan
celana jeans. Beberapa pelayan memberikan kami makan dan minum. Hasan dan
Husein tampak senang ketika aku mengijinkan mereka memakan hidangan yang
disediakan. Aku lebih memilih air putih untuk membasahi tenggorokan sembari
menunggu orang ini bicara.
Belum banyak yang disampaikan sang komandan ketika air
mataku tumpah. Tangisku pecah sehingga membuat anak-anakku khawatir.
“Wajah dan ekspresi mereka sungguh mirip Bayu” begitu
kata komandan.
Pak Topo, orang yang dipanggil komandan itu bercerita
tentang Kang Bayu yang banyak belum kuketahui. Aku hanya tahu bahwa Kang Bayu
ditugaskan ke Lubuk Kumbung sebagai dokter di puskesmas desa. Aku tak tahu
bahwa Kang Bayu adalah dokter polisi yang sedang mengumpulkan bukti-bukti
terkait kasus produksi ganja. Akupun baru tahu bahwa kematian Kang Bayu terjadi
karena baku tembak di lahan ganja di tengah hutan. Warga hanya mengatakan bahwa
Kang Bayu mati karena kena sasaran tembak para pemburu tak bertanggung jawab. Hatiku
hancur dan diselimuti dendam, namun dendam tak bisa mengambalikan Kang Bayu.
Dendam hanya akan menciderai perjuangan Kang Bayu yang rela menjalani hidup
susah payah di desa terpencil demi tugas negara.
Mobil dinas melaju menuju Bandar udara Sultan
Badaruddin II. Ada dua petugas yang akan menemani perjalanan kami sampai ke
tanah Jawa. Hal ini sebagai salah satu penghormatan kepada Kang Bayu. Di tanah
Jawa sudah menanti upacara penghormatan dan penghargaan untuk jasa Kang Bayu
dan dua orang rekannya yang gugur saat melaksanakan tugas.
Kembali terngiang kata-kata Kang Bayu yang sering
diucapkan :
“Hidup adalah
sebuah perjalanan. Yaitu tentang bagaimana caramu menjalani dan memberi arti
dari perjalananmu itu”
Pekan Karya: Edisi 13
Tema: Makna Perjalanan
Ceritanya bagus. Apalagi ado bahaso daerahnyo. Hehe...
BalasHapusSalam literasi. 👍
Posting Komentar