Puncak Pertamaku

 


Oleh: Thoriq Kemal

Mendengar yang namanya mendaki gunung pastilah menyenangkan, apalagi ketika melihat orang-orang yang berhasil menuju puncak. Wow, pasti berlipat ganda kebahagiaannya. Sejak dulu aku ingin sekali merasakan yang namanya mendaki gunung. Gunung Bromo, Gunung Semeru, atau Gunung Arjuna. Tapi aku harus mengubur keinginanku dahulu karena orang tua tidak mengizinkanku mendaki gunung karena alasan keselamatan. Mulai dari SD, SMP, SMA bahkan saat berkuliah pun aku tidak berani untuk izin keluar mendaki gunung sekalipun dari komunitas ataupun organisasi kampus.

Tanggal 27 Oktober 2021 adalah hari yang tidak akan terlupakan sepanjang hidupku. Berawal dari kebosanan diri di mana setiap waktu hanya menjalani rutinitas itu-itu saja seperti bekerja, membaca buku, bermain game, atau muter-muter enggak jelas di Surabaya. Akhirnya aku mengajak temanku yang bernama Dio untuk mendaki gunung. Untungnya dia suka mendaki gunung seperti Arjuna, Sumbing, Slamet, dan Raung. Kami memutuskan untuk mendaki Gunung Puthuk Gragal karena tidak terlalu tinggi, hanya 1480 mdpl. Sebelum mendaki aku mencoba survei dan mencari tahu peralatan untuk mendaki apa saja. Toko Eiger Manyar aku telusuri. Saat masuk aku begitu kagum karena peralatannya sangat lengkap mulai dari sepatu gunung, sandal gunung, tas gunung, jaket tebal, topi, dan beragam aksesoris lain. Sebenarnya aku ingin sekali membeli sepatu gunung yang memiliki bentuk gagah dan solnya bergerigi dengan tampilan memukau. Sayangnya lagi tanggal tua dan harga tak bersahabat dengan dompet. Yasudah, lah, aku membeli sandal gunung yang harganya cukup murah yaitu 250 ribu rupiah.

Sepulang bekerja pada jam 7 pagi, aku mulai bersiap untuk pendakian pertamaku. Sebenarnya mataku masih merasa ngantuk tapi aku harus melawannya karena ini adalah momen langka. Sayangnya aku dan Dio berangkat agak terlambat yang rencananya jam 8 berangkat namun baru berangkat jam 9. Dio membawa tas gunung yang cukup besar dengan beberapa bekal, baju ganti, tikar, dan tripod. Sedangkan aku hanya membawa tas kecil yang berisi dompet dan dua gawai.

Dari Waru kita mengendarai sepeda motor dengan ditemani langit mendung dengan hujan rintik-rintik. Namun semangat tak kendor juga. Sepanjang perjalanan hujan rintik membasahiku sampai memasuki Krian yang cuacanya lumayan panas. Jalanan masih cukup enak hingga daerah Trawas yang cukup menanjak membuatku harus menarik lebih kencang tuas gasku hingga motorku meraung-raung.

Perjalanan ditempuh selama dua jam dan akhirnya kami sampai juga di pendakian Puthuk Gragal dengan suasana sejuk. Di parkiran motor kami mendaftar biaya parkir sekaligus mendaki sejumlah 20 ribu rupiah per orang kemudian petugas memberikan peta jalur pendakian. Setelah administrasi selesai, kami berdua berangkat dengan berjalan kaki. Memasuki gang pendakian rasanya senang sekali dengan ditemani pepohonan dan pemandangan gunung yang membuat mata menjadi sejuk setelah sekian lama terpapar radiasi komputer.

Menuju pos pertama jalanan masih landai dengan aliran sungai jernih. Sesekali kami bertemu sesama pendaki gunung dan saling menyapa. Tak kusangka bahwa pendaki itu ramah dan penuh kekeluargaan. Sampai di pos satu aku dan Dio istirahat sejenak sambil minum air putih. Napas sedikit tersengal karena terlalu banyak rokok. Heheh. Lima menit beristirahat, kami pun melanjutkan pendakian. Jalan sudah mulai menanjak dengan kemiringan kira-kira 45-60 derajat. Aku yang tak terbiasa mendaki sesekali istirahat sekaligus berjalan. Sedangkan Dio masih kuat berjalan dengan tas ransel yang ia bawa. Aku ingin membantu namun ia menolak.

Sampai pada akhirnya kami memasuki jalur yang cukup ekstrim dengan kemiringan 90 derajat dengan tanah basah. Antara satu pohon dengan pohon lain terikat tali tampar.

“Gimana? Lanjut enggak, Lo?” Tanyaku karena aku lihat napas Dio mulai tidak beraturan. “Lanjut, lah, Riq.” Aku memimpin sedangkan Dio di belakang. Aku naik dengan tongkat pendakian milik Dio sambil memegang tali secara erat. Ini masih belum musim hujan saja tetapi tanahnya licin. Bagaimana jika hujan turun secara deras? Pasti sangat licin.

Mungkin jika dihitung jaraknya hanya 500 meter tetapi rasanya seperti berjalan sepanjang 5 Km. Harus ekstra hati-hati saat menaikinya. Berjalan sambil memegang tali rasanya super sekali. Selama 15 menit melewati kami sampai juga dan akan memasuki pos pemberhentian selanjutnya yaitu pos.

Sesampai di pos 2 kami beristirahat sejenak dan minum air putih. Entah kenapa aku sangat butuh minum yang cukup banyak. Keringat sudah mulai bercucuran. Kami pun melanjutkan perjalanan menuju pos 3 yang katanya sumber air ada disana. Aku pun semakin bersemangat untuk menuju kesana. Ah, rasanya memang seperti menaiki ribuan anak tangga. Capek sekali.

Selama 30 menit perjalanan dari pos 2 menuju pos 3. Di sana kami melihat satu rombongan yang berisi 4 orang laki-laki yang sedang beristirahat di dalam tenda. Aku mengambil air pegunungan dari kran dan langsung mengisi penuh dua botol penuh. Ketika meminumnya, sejuk sekali kerongkongan ini dengan air yang turun dari sumber pegunungan. Rasanya manis dan dingin seperti diambil dari kulkas. Kami beristirahat sebentar untuk mengejar waktu.

Perjalanan menuju pos 4, yaitu pos perkemahan. Jalannya masih menanjak tapi tidak seekstrim dari pos 2. Suara-suara jangkrik dan hewan hutan mulai bersahutan menemani perjalanan kami. Saat menanjak hanya kami berdua, tidak ada pendaki lain. Sunyi. Namun saat menengok ke belakang, rasanya aku berada di atas mereka. Aku melihat perumahan penduduk berada di bawahku. Ah, senang sekali.

Hingga sampai pos 4 kita hanya melewati saja. Namun ada kejadian mistis yang muncul. Aku dan Dio mendengar suara tangisan sesenggukan di pojok kiri, padahal sampingku hanya pohon dan rerumputan liar.

“Heh Io, dengar suara itu enggak?”

“Sudah enggak apa-apa ayo kita lanjut. Pokoknya kita tidak mengganggu.”

Kami terus berjalan sampai suara tangisan itu hilang. Dan, kami sudah melihat bendera merah putih berkibar yang menjadi tanda bahwa puncak Gragal segera tiba. Kami terus mendaki sampai akhirnya aku melihat Dio mulai kelelahan membawa tas. Akhirnya kami bergantianl. Uh, berat juga ya membawa tas gunung.

Aku mulai kelelahan tapi harus sampai puncak. Perlahan dan pasti kami terus menggerakkan kedua kaki yang sudah bergetar ini. Dengan terus melangkahkan kaki sedikit demi sedikit dan keringat bercucuran sampai mendekati dehidrasi, tidak ada kata menyerah. Harus sampai puncak dan harus sampai puncak apapun yang terjadi. Langkah demi langkah dengan stamina yang menipis aku nekat untuk terus berjalan sampai puncak tanpa berhenti.

“Alhamdulillah!!” Kataku.

“Puthuk Gragal!!! Akhirnya sampai juga.” Teriak Dio. Setelah hampir dua jam perjalanan dengan susah payah, kami bisa mencapai puncak. Angin yang kencang terus menerus berusaha merobohkan tubuhku, tapi aku masih kuat menahan tubuh agar tak jatuh. Rasanya sangat bahagia sekali bisa menanjaki gunung walaupun terasa pendek yaitu 1480 mdpl, tetapi ini adalah hal yang berharga buatku. Selama 23 tahun, baru kali ini aku rasakan bagaimana susah dan senangnya mendaki gunung. Dengan perjuangan dan kesabaran, aku bisa mencapai puncak Puthuk Gragal ini. Puncak pertama dalam hidupku. Ya Allah, terima kasih Engkau masih memberiku napas, fisik dan umur yang panjang sehingga aku masih bisa berkesempatan menapaki ciptaan-Mu.

Memang benar kata orang, mendaki itu butuh kesabaran dan fisik yang prima. Hanya sedikit orang yang mau mendaki. Namun, cobalah! Ini pasti asyik. Sekian.


Pekan Karya: Edisi 13

Tema: Makna Perjalanan

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama