Oleh: Fakhrualong
Ilustrasi sumber: pixabay.com |
Saya ingin belajar menulis…”
Kalimat
motivasi sederhana tersebut saya tulis di salah satu kolom pendaftaran
perekrutan anggota baru FLP Surabaya. Kalimat itu cukup membekas di benak saya.
Kini, selang 5 tahun berlalu. Elipsis di akhir kalimat itu berpindah seiring
waktu saya bercengkrama dengan anggota FLP Surabaya di luar kegiatan dan
mengikuti kegiatan organisasi kepenulisan dan keislaman yang nirlaba itu.
Setelah
mengikuti kelas-kelas kepenulisan FLP Surabaya pasca peresmian anggota, saya
akui belajar menulis tidaklah mudah. Misalnya, menulis kalimat pertama artikel
atau cerpen yang menarik dan memantik kenikmatan membaca, sulit sekali. Boleh
jadi seseorang mampu mengolah kata-kata indah saat menulis puisi dan mampu
berkomunikasi verbal lancar, tapi dua hal tersebut belum tentu menandakan ia
bisa menulis kalimat pertama artikel atau cerpen yang menarik.
Seiring
waktu dengan kesimpulan sementara itu, saya memperoleh saran dari teman-teman
di FLP Surabaya, “Daripada terlalu banyak menghabiskan waktu untuk
memikirkan kalimat pertama yang menarik, hingga tak kunjung menulis. Ada
baiknya tulis saja terlebih dahulu. Tulis sebisanya, bagaimana dan apapun
kalimatnya, biarkan mengalir.”. Saya mengamini, mempraktikkan saran
tersebut. Tapi tak selesai di saran itu, saat mencoba menulis dengan mensugesti
“biarkan kalimatmu mengalir” pikiran saya malah sering buntu. Yang mengalir
bukan susunan kalimatku, melainkan waktu memikirkanmu. Ea…
Lantaran
hal itu, setelah saya diresmikan menjadi anggota FLP Surabaya lalu masuk di
bagian kepengurusan. Saya memilih sering -belajar- menulis puisi daripada
menulis cerpen atau artikel.
Saya
mulai beranjak mengikuti pertemuan-pertemuan tak resmi, ngopi, dan membicarakan
banyak hal, mulai dari isu kiwari hingga literasi. Membicarakan tentang buku
sastra yang sedang populer, dibahas banyak orang saat itu.
Tiap
kali bertemu, sepertinya lisan kita tak pernah luput dari ungkapan “Sekarang
kamu sedang membaca buku apa?”.
Pada
momen-momen itu saya menyadari sesuatu, saya rasa kurang tepat jika tujuan saya
bergabung di FLP Surabaya untuk belajar menulis. Karena realitas di FLP
Surabaya itu adalah tulis-menulis. Sedangkan entitas Forum Lingkar Pena
untuk menulis. (Sok iye, padahal sudah lama gak aktif nulis).
Seandainya
saya bergabung tanpa bertujuan belajar menulis, secara otomatis saya tetap akan
-belajar- menulis.
Dus,
saya ingin melanjutkan kalimat motivasi di awal…
“Saya ingin belajar menulis,
membaca…”
Ada
hal bermanfaat dan menarik yang saya dapatkan saat mengikuti aktivitas membaca
bersama di FLP Surabaya. Yaitu, ketika para anggota diberi kesempatan untuk
menjelaskan atau meninjau-ulang (review) pada apa yang mereka baca dari sebuah
tulisan/buku.
Dengan
menyadari keniscayaan keberagaman pengetahuan, wawasan dan pengalaman yang
dimiliki teman-teman. Semuanya tampak antusias menyimak penjabaran. Muncul
sudut pandang, nilai, dan emosi. Hingga jatuh pada kesimpulan yang mengesankan
atau bahkan tidak saya sepakati. Bagi saya kegiatan itu menumbuhkan banyak
motivasi.
Di
luar hal itu, kita pasti pernah menemukan seseorang dengan sikap mudah
menghakimi, terburu-buru menyimpulkan. Penyebabnya karena ia tidak “membaca”
suatu permasalahan secara utuh.
Saya
pribadi pernah salah, bersikap demikian. Saya berusaha mengingatkan diri,
supaya lebih gemar membaca. Lebih-lebih membaca diri sendiri, bahwa saya tidak
tahu apa-apa saat awal kali menerima sebuah informasi. Karena untuk memahami
suatu persoalan secara utuh, tidak bisa diperoleh dengan cara gegabah apalagi
dengan pembacaan cepat yang setengah-setengah. (Sudah cepat, setengah-setengah
pula)
Boleh
jadi seseorang mampu membaca cepat pada sebuah informasi, tapi sudah pastikah
kebijaksanaan membaca ia peroleh?
Sepertinya
asik membicarakan itu...
“Saya ingin belajar menulis,
membaca, membicarakan…”
Sejak
masih kecil saya merasa bukan pencerita, bukan pembicara yang baik. Pengalaman
saya saat membicarakan sesuatu, disimak, di depan orang-orang terdekat. Dengan
pengalaman mengikuti lomba pidato saat masih menginjak sekolah diniyah, (atau
sekadar tampil menyampaikan intermeso sebentar di sebuah acara) sangat
berbeda.
Pengalaman
pertama seringkali meninggalkan kesan, bahwa saya suka tertawa dengan nada yang
sangat keras. Pengalaman kedua, “Kamu gagap ketika berbicara di hadapan orang
banyak di acara formal ya.” Komentar salah satu juri lomba pidato saat itu.
Sampai detik ini saya rasa masih begitu.
Sejak
diniyah juga saya tidak suka berbicara di hadapan orang banyak, di acara
formal. Apapun bentuk acaranya, selama acara itu formal saya merasa tak nyaman
saat mendapat ‘kesempatan’ untuk membicarakan sesuatu di hadapan orang
banyak.
Seiring
waktu kemudian, pengalaman-pengalaman baru mulai saya rasakan, salah satunya
saat di FLP Surabaya. Mendapat giliran membicarakan sesuatu di hadapan banyak
orang, di acara formal. Saya merasa kadar ketidaksukaan itu mulai berkurang.
Meski hati kecil saya berkata, “gak nyaman”.
Membicarakan
sesuatu di hadapan orang banyak bisa menjadi alternatif memberi “pesan” kepada lingkungan
sekitar daripada menulis. Bahwa apa yang kita bicarakan itu “penting” untuk
diperhatikan bersama-sama.
Jika
cara itu masih tak cukup bisa memantik perhatian orang, maka bisa mencoba
dengan cara menonjolkan si pembicara topik. Sederhananya, menonjolkan si
pemilik gagasan/ide. Mengarahkan perhatian orang-orang kepada
sosok/kepribadiannya.
Pernah
di satu kesempatan. Saya menyaksikan salah satu teman yang memiliki ide bagus,
ia pasif, — terlepas dari kepribadiannya yang introvert — . Bukan karena ia tak
mau membicarakannya bersama, juga bukan karena ia sengaja tak diberi kesempatan
untuk berbicara. Tetapi eksistensinya ‘tertabir’ karena kita asik sekali
mendengarkan pembicaraan yang sedang berlangsung. Setelah bertemu di kesempatan
selanjutnya, ia berkata, “Kemarin saya kira lebih baik tidak usul, karena
setelah menyimak secara utuh ide yang diperbincangkan. Saya kira itu jauh lebih
baik dan bijaksana daripada usulan saya.”
Pada
akhirnya saya menyadari, belajar membicarakan sekaligus belajar mendengarkan
itu sangat perlu…
“Saya ingin belajar menulis,
membaca, membicarakan, & mendengarkan…”
Selama
kurang lima tahun bergabung di FLP Surabaya, saya telah memperoleh banyak hal.
Bukan hanya berkaitan dengan dunia literasi, lebih dari itu. Saya memperoleh keluarga
baru, “rumah baru” untuk menetapkan rasa aman dan nyaman, berkeluh kesah di
tengah kesibukan sehari-hari.
Meski
pada awalnya dulu sangat canggung dan wagu, karena kultur sosial &
cara “berkeislaman”-nya berbeda dengan cara yang saya pelajari dan saya alami
di Pesantren. Seiring waktu kemudian, saya mencari tahu dan mencoba memahami
“perbedaan” itu. Dari mana asal ‘akar’nya.
Saya
juga berdiskusi perihal perbedaan itu dengan teman seperguruan saya. Sambil
lalu mendengar cerita sebagian anggota FLP Surabaya yang sudah ‘senior’. Lambat
laun, saya mulai memahami dan saya anggap perbedaan itu bukanlah masalah. Saya
hanya perlu menjadi warna baru yang dipadukan dengan warna yang sudah
ada. — Semoga — Tidak memperburuk, melainkan memperindah.
Saya
bersyukur dengan segala paradigma serta problematika di FLP Surabaya. Entah itu
perihal setuju-tak setuju pada sebuah keputusan, konflik antar personal ataupun
ketidakcocokan yang tak bisa dipaksakan, semuanya selalu berusaha diselesaikan
dengan cara adil dan baik-baik. Karena hal itu menandakan bahwa FLP Surabaya
‘hidup’, selalu berbenah. Saya bisa belajar dan memetik banyak hikmahnya.
Semua
anggota mafhum, setiap individu dari anggota memiliki kadar prioritasnya
masing-masing. Anggota yang meluangkan waktunya meski beberapa menit seperti
sebatas membaca chat di grup WA saja, hal itu dianggap sebuah
kepedulian. Apalagi sampai sudi meluangkan waktunya untuk menulis, berbicara
dan mendengarkan, atau lebih dari itu.
Saya
rasa setiap anggota mencintai FLP Surabaya. Mereka mencintai dengan caranya
masing-masing, cara yang beragam. Dari keberagaman itu saya simpulkan menjadi
dua. Pertama, mencintai apa adanya. Kedua, mencintai karena ada apanya. Hal
itu tampak pada keaktifan anggota saat berupaya “memberi yang terbaik” kepada
FLP Surabaya dan menjalankan program-programnya.
Kedua
ekspresi mencintai itu adalah ‘fase’ tiap anggota yang bisa menjadi mekanisme
bahwa FLP Surabaya ‘hidup’, sedang menulis, membaca, membicarakan, dan
mendengarkan.
Terkadang
ada yang gemar memberi saran dan kritik demi kebaikan bersama, terkadang pula
ada yang senyap tapi luwes mengikuti alur program yang sudah disepakati
bersama.
Dari
pengalaman-pengalaman subjektif dengan sekian kesimpulan itu, sampai pada detik
ini saya katakan kepada diri sendiri, “Jangan cuma belajar menulis di FLP
Surabaya. Karena kamu bisa mendapatkan lebih dari itu.”
Menjelang
ulang tahun FLP, saya berharap semoga “keluarga baru” saya bisa berkembang
lebih baik lagi.
Pekan Karya: Edisi 16
Tema: Aku dan FLP
Posting Komentar