Oleh: Thoriq Kemal
Ilustrasi sumber: pixabay.com |
Kalau membicarakan tentang menulis sih, aku sangat berterimakasih kepada Forum Lingkar Pena yang telah mengenalkanku tentang seluk beluk menulis dan macam-macam tulisan. Hingga saat ini pun aku tak lepas dengan membaca, menulis dan berkontribusi bersama FLP, khususnya di kota Surabaya. Aku sangat nyaman bersama teman-teman di FLP Surabaya karena masih bisa diajak mengobrol seputar literasi.
Baiklah,
dalam tulisan ringan ini aku ingin menulis tentang bagaimana sih aku bisa
mengenal FLP Surabaya? Ini dimulai pada pertengahan 2018 silam saat aku
mengetahui pada teman SMA-ku yang bernama Ivan. Dia sudah lama bergabung
bersama FLP Surabaya dan aku juga ingin bergabung agar memiliki wadah untuk
menyalurkan bakat.
“Van,
kalau ada info penerimaan anggota baru. Tolong kabari aku ya.” Kataku kepada
Ivan.
“Oh
ya, Riq. Siap. Nanti aku infokan ke kamu” Jawab Ivan.
Sembari
aku menunggu kabar pendaftaran, aku lihat-lihat di Instagram tentang kegiatan
di FLP. Awalnya aku curiga kok anggotanya banyak yang perempuan berkerudung
panjang dan lebar tapi gak tinggi, ditambah ukhti-ukhti pula. Waduh, ini
jangan-jangan komunitas pengajian deh. Pikirku seperti begitu.
Setelah
menunggu sekian lama akhirnya rekrutmen anggota baru pun dibuka. Aku mendaftar
FLP Surabaya dan mengikuti kelas perdana pada Oktober 2018 di perpustakaan
Bratang.
Pagi
itu sekitar pukul 07.00 WIB di hari Minggu yang cerah aku berangkat dengan
Supra X kesayanganku mengenakan baju batik dan bercelana hitam. Perjalanan
memakan waktu 30 menit dari rumahku yang berada di Sidoarjo. Saat masuk ke
dalam aku sudah menemui banyak calon anggota FLP Surabaya. “Wah banyak juga
ya yang ikut.” Kataku dalam hati. Saat memasuki pintu masuk, aku sudah
disambut dengan seorang ibu-ibu berkerudung dengan penampilan tegas. Aku
disuruh mengisi presensi lalu beliau mengatakan, “07.45”.
Keren
nih. Pakai dituliskan waktu kedatangannya. Pasti disiplin sekali nih. Aku
langsung mencari tempat duduk di sebelah kanan karena khsusus laki-laki
sedangkan bagian kiri diisi untuk peserta perempuan. Aku cukup sedih juga
karena peserta laki-laki yang mengikuti kelas lumayan sedikit, sedangkan
peserta perempuannya sangat banyak.
Kelas
perdana yaitu tentang ke-FLP-an diisi oleh mas Zayyin selaku ketua FLP
Surabaya. Dia memberikan materi yang cukup menarik bagiku yaitu membahas AD/ART
FLP dan prinsip-prinsip organisasi di FLP. Namun ada hal yang aku kurang setuju
dari pendapat mas Zayin dari sisi keislaman. Sebagai pengkaji ilmu agama Islam,
aku lihat mas Zayyin cenderung pada Islam yang fundamental dan menolak hal-hal
yang tidak berbau “islam”. Salah satu contoh yang aku ingat adalah apabila saat
pekan menulis dan salah satu anggota menulis sebuah tulisan yang tidak berbau
islami maka akan dikeluarkan dari grup pengurus. Sadis. Tapi karena saat itu
aku masih cenderung pasif, aku lebih banyak diam dan tidak mempersoalkannya.
Di
kelas-kelas selanjutnya aku rutin mengikutinya dan tak pernah membolos
sekalipun. Kelas menulis cerpen, artikel, puisi, novel dan blog semuanya aku
ikuti. Dan yang paling bikin aku tertantang ada dua hal, yaitu kedisiplinan dan
semangat menulis. Yang pertama aku begitu kagum kepada panitia karena masih
memberikan hukuman berupa menulis istighfar di atas kertas. Ada yang hanya
mendapatkan 10 kali, 20 bahkan di atas 50 kali pun ada. Dan yang kedua yaitu
tugas harian dan mingguan. Saat pertama kali aku mengerjakan tugas harian
rasanya begitu sulit karena sebelumnya aku hanya bisa membaca buku. Dan kali
ini aku wajib hukumnya menulis tema dari panitia penyelenggara.
Saat
hari pengumuman tiba, jantungku berdebar sangat kencang. Aku takut sekali jika
tidak diterima di FLP Surabaya. Mungkin karena karyaku jelek atau aku sering
bercanda saat kelas. Semoga saja bukan alasan itu. Setiap menit aku selalu
menunggu dan sesekali membuka grup WA calon pramuda.
Dan di
akhir 2018 aku resmi menjadi anggota FLP Surabaya. Senang sekali hatiku ketika
diterima. Padahal aku hanya butiran debu biasa yang tidak tahu apa-apa tentang
kepenulisan.
Di
masa kepengurusan mbak Ratna aku mulai serius mengikuti agenda yang diberikan
seperti kajian dan pekan menulis. Aku semangat sekali dan hampir jarang absen
untuk pengumpulan karya. Tapi, iya ini tapi. Ada satu program yang tidak pernah
aku lakukan sama sekali, yaitu membayar kas bulanan. Setiap bulan aku selalu
dikejar-kejar oleh mbak bendahara yang sangat judes dan selalu komen WA-ku
ketika aku memotret buku dan kopi yang dibeli di kafe. He-he-he.
Sebagai
penutup tulisan ini, aku sangat berterimakasih kepada FLP Surabaya yang telah
mengajariku dan membimbingku menulis dengan baik. Tidak hanya menulis dengan
baik, tapi bagaimana ia melatihku untuk percaya diri dengan hasil karya
sendiri. Alhamdulillah, selama bersama FLP aku telah menelurkan 5 karya
antologi yang sejak awal tidak pernah yakin bisa seperti ini. Terima kasih FLP,
tanpamu aku hanyalah butiran Rinso yang sekali kucek langsung hilang.
Pekan Karya: Edisi 16
Tema: Aku dan FLP
Posting Komentar