Saat ini kita tentu masih sering tanpa sengaja melihat nenek tua sedang menjual sayur dan buah, di pasar-pasar tumpah di pinggir jalan memakai pakaian kebaya lengkap menutupi tubuhnya yang bungkuk. Di lain waktu saat cangkruk di warung kopi, sering juga kita temui seorang bapak atau bahkan kakek-kakek memakai baju yang lusuh dan bau keringat menenteng beberapa bungkus krupuk menghampiri satu per satu pengunjung untuk menawarkan dagangannya.
setiap hari di atas pukul sebelas malam mereka masih bisa kita temui di sudut-sudut jalan di Surabaya. Seorang teman pernah bertanya kepada salah mereka tentang daerah asal orang-orang tua tersebut, ada yang menjawab dari Bojonegoro, Pare bahkan Blora, kota-kota yang berjarak puluhan bahkan ratusan kilometer jauhya dari Surabaya, terpisah dari keluarga, naudzubillah. Lalu, di mana mereka tidur dan berapa lama mereka berada di sini untuk menghabiskan dagangannya? Jawabannya sungguh membuat prihatin. Mereka makan dan tidur di emperan, tinggal paling sedikit selama tiga hari dan kalau lagi sepi bisa sampai satu minggu. Bahkan demi mendapatkan sarana transportasi yang murah meriah, mereka terpaksa pulang pergi naik truk dengan atap terbuka yang disewa rame-rame dengan teman senasib.
Yang lebih membuat iba adalah nenek-nenek para penjual sayur atau buah. Mereka bahkan ada yang harus tidur di sebelah dagangannya, mahalnya sewa tempat penginapan dan sempitnya lahan pasar tradisional di perkotaan menjadi alasan mereka. Mau tak mau mereka harus berteduh dan tidur di lapaknya dengan berselimutkan plastik atau koran bekas apapun cuacanya. Siang kepanasan, malam kedinginan belum lagi kalau hujan. Hanya Allah yang tahu kekuatan apa yang mendorong mereka nekat menjalani hidup seperti itu.
Hati siapa yang tak miris melihat perlakuan dunia yang seolah tak kenal ampun terhadap mereka ini, hati siapa yang tak tersayat-sayat melihat segumpal daging yang membungkus tulang-tulang yang keropos dan melengkung itu ditimpa beratnya beban kehidupan. Hati siapa yang tak menangis melihat wajah-wajah keriput penuh guratan penderitaan itu semakin kosong dan kosong sorot matanya, menerawang datar buah dari penderitaan yang tak berkesudahan.
Sudah habis ratap dan tangis, sudah lepas jiwa dari raga, sudah hampa hati dari rasa yang tersisa hanyalah insting untuk bertahan hidup.
Detik itu juga kita mengutuk anak turunannya, sanak keluarganya dan semua orang-orang terdekatnya yang telah menelantarkannya dan memperlakukannya laksana budak. Detik itu juga tanpa pikir panjang kita menghakimi orang-orang yang bahkan namanya pun belum pernah kita dengar apalagi kenal. Detik itu juga kita bersimpati kepadanya, kita beli sayur dan krupuknya meskipun kita tidak butuh itu dan di detik itu juga kita menjadi anaknya untuk sementara dengan tinggal sejenak untuk mendengarkan keluh kesahnya. kita memperlakukan mereka layaknya orang tua kita dan andai diri ini bisa, kita bersumpah akan merawatnya sampai akhir hayatnya. Hanya dari sedetik itu telah tumbuh kasih sayang dan simpati kita terhadap mereka melebihi yang telah kita berikan kepada Ibu dan Bapak kita. Detik itu Kita menjadi sangat emosional.
Tapi lihatlah... lihatlah saat kita pulang ke rumah dan bertemu bapak dan ibu. Semua perasaan prihatin dan simpati tersebut terkadang tidak muncul sama sekali, demi Tuhan, padahal merekalah yang bertaruh nyawa melahirkan kita dan mengorbankan hidup untuk membesarkan kita.
Yang kita lakukan saat pertama kali sampai di rumah adalah secepat mungkin mencari kenyamanan, kita langsung masuk ke dapur mengambil makanan, bersantai di depan televisi dan bahkan di barengi menghidupkan gadget lalu larut selama berjam-jam di dunia sosmed. Kita terkadang lupa untuk sekedar memberi salam dan selalu menganggap remeh untuk sekedar menanyakan keadaan bapak ibu kita hari itu. Kita baru akan merasa kehilangan saat mereka pergi meninggalkan kita, tapi itu sudah terlambat.
Di lain waktu terkadang kita malah senewen saat di "sambati", sering juga kita tidak bergegas membantu saat bapak ibu repot membetulkan genteng yang melorot atau menguras kamar mandi, jangan dulu pikirkan soal hal-hal besar yang sering tidak kita berikan kepada orang tua kita, hal-hal yang sepele yang terlewat seperti diatas tadi pun akan balik menghantam kita dalam bentuk penyesalan suatu hari nanti saat mereka pergi untuk selama-lamanya.
Berapa banyak dari kita yang sering seperti itu? Luangkanlah waktu barang sejenak dalam satu hari sekedar untuk mengobrol, korbankanlah sedikit waktu kita dari mengejar karir dan sibuk dengan keluarga demi untuk bertandang mencium tangan dan kedua belah pipi bapak ibu kita dan memeluk mereka dengan hangat sebelum mereka pergi di panggil sang Khaliq.
Berbagilah, dengarlah dan angkatlah derajat kebahagiaan mereka dengan kehadiran kita, karena bagi mereka kitalah satu-satunya harta yang tak ternilai harganya. Rindukanlah mereka sekarang sebelum kita rindu oleh ketidak hadiran mereka di dunia nanti. Lagipula, kita tidak mau mengutuk diri kita sendiri nantinya, bukan? Seperti halnya kita mengutuk keluarga kakek nenek penjual kerupuk dan sayur tadi.
setiap hari di atas pukul sebelas malam mereka masih bisa kita temui di sudut-sudut jalan di Surabaya. Seorang teman pernah bertanya kepada salah mereka tentang daerah asal orang-orang tua tersebut, ada yang menjawab dari Bojonegoro, Pare bahkan Blora, kota-kota yang berjarak puluhan bahkan ratusan kilometer jauhya dari Surabaya, terpisah dari keluarga, naudzubillah. Lalu, di mana mereka tidur dan berapa lama mereka berada di sini untuk menghabiskan dagangannya? Jawabannya sungguh membuat prihatin. Mereka makan dan tidur di emperan, tinggal paling sedikit selama tiga hari dan kalau lagi sepi bisa sampai satu minggu. Bahkan demi mendapatkan sarana transportasi yang murah meriah, mereka terpaksa pulang pergi naik truk dengan atap terbuka yang disewa rame-rame dengan teman senasib.
Yang lebih membuat iba adalah nenek-nenek para penjual sayur atau buah. Mereka bahkan ada yang harus tidur di sebelah dagangannya, mahalnya sewa tempat penginapan dan sempitnya lahan pasar tradisional di perkotaan menjadi alasan mereka. Mau tak mau mereka harus berteduh dan tidur di lapaknya dengan berselimutkan plastik atau koran bekas apapun cuacanya. Siang kepanasan, malam kedinginan belum lagi kalau hujan. Hanya Allah yang tahu kekuatan apa yang mendorong mereka nekat menjalani hidup seperti itu.
Hati siapa yang tak miris melihat perlakuan dunia yang seolah tak kenal ampun terhadap mereka ini, hati siapa yang tak tersayat-sayat melihat segumpal daging yang membungkus tulang-tulang yang keropos dan melengkung itu ditimpa beratnya beban kehidupan. Hati siapa yang tak menangis melihat wajah-wajah keriput penuh guratan penderitaan itu semakin kosong dan kosong sorot matanya, menerawang datar buah dari penderitaan yang tak berkesudahan.
Sudah habis ratap dan tangis, sudah lepas jiwa dari raga, sudah hampa hati dari rasa yang tersisa hanyalah insting untuk bertahan hidup.
Detik itu juga kita mengutuk anak turunannya, sanak keluarganya dan semua orang-orang terdekatnya yang telah menelantarkannya dan memperlakukannya laksana budak. Detik itu juga tanpa pikir panjang kita menghakimi orang-orang yang bahkan namanya pun belum pernah kita dengar apalagi kenal. Detik itu juga kita bersimpati kepadanya, kita beli sayur dan krupuknya meskipun kita tidak butuh itu dan di detik itu juga kita menjadi anaknya untuk sementara dengan tinggal sejenak untuk mendengarkan keluh kesahnya. kita memperlakukan mereka layaknya orang tua kita dan andai diri ini bisa, kita bersumpah akan merawatnya sampai akhir hayatnya. Hanya dari sedetik itu telah tumbuh kasih sayang dan simpati kita terhadap mereka melebihi yang telah kita berikan kepada Ibu dan Bapak kita. Detik itu Kita menjadi sangat emosional.
Tapi lihatlah... lihatlah saat kita pulang ke rumah dan bertemu bapak dan ibu. Semua perasaan prihatin dan simpati tersebut terkadang tidak muncul sama sekali, demi Tuhan, padahal merekalah yang bertaruh nyawa melahirkan kita dan mengorbankan hidup untuk membesarkan kita.
Yang kita lakukan saat pertama kali sampai di rumah adalah secepat mungkin mencari kenyamanan, kita langsung masuk ke dapur mengambil makanan, bersantai di depan televisi dan bahkan di barengi menghidupkan gadget lalu larut selama berjam-jam di dunia sosmed. Kita terkadang lupa untuk sekedar memberi salam dan selalu menganggap remeh untuk sekedar menanyakan keadaan bapak ibu kita hari itu. Kita baru akan merasa kehilangan saat mereka pergi meninggalkan kita, tapi itu sudah terlambat.
Di lain waktu terkadang kita malah senewen saat di "sambati", sering juga kita tidak bergegas membantu saat bapak ibu repot membetulkan genteng yang melorot atau menguras kamar mandi, jangan dulu pikirkan soal hal-hal besar yang sering tidak kita berikan kepada orang tua kita, hal-hal yang sepele yang terlewat seperti diatas tadi pun akan balik menghantam kita dalam bentuk penyesalan suatu hari nanti saat mereka pergi untuk selama-lamanya.
Berapa banyak dari kita yang sering seperti itu? Luangkanlah waktu barang sejenak dalam satu hari sekedar untuk mengobrol, korbankanlah sedikit waktu kita dari mengejar karir dan sibuk dengan keluarga demi untuk bertandang mencium tangan dan kedua belah pipi bapak ibu kita dan memeluk mereka dengan hangat sebelum mereka pergi di panggil sang Khaliq.
Berbagilah, dengarlah dan angkatlah derajat kebahagiaan mereka dengan kehadiran kita, karena bagi mereka kitalah satu-satunya harta yang tak ternilai harganya. Rindukanlah mereka sekarang sebelum kita rindu oleh ketidak hadiran mereka di dunia nanti. Lagipula, kita tidak mau mengutuk diri kita sendiri nantinya, bukan? Seperti halnya kita mengutuk keluarga kakek nenek penjual kerupuk dan sayur tadi.
*Abdillah Setyono
Posting Komentar