Doa Lama Bersemi Kembali

doa2“Entah bagaimana caranya doamu kemudian terkabul meski di saat itu kamu sudah berubah pikiran dan kamu tidak akan bisa menjilat ludahmu sendiri sekeras apapun itu. Maka berrhati-hatilah dalam berdoa".


Sudah sejak lama saya meyakini keampuhan kalimat tersebut. Meskipun tidak ingat siapa yang pernah mengatakannya, entah orang lain atau justru hati kecil sendiri.


Dan percaya atau tidak, kehidupan yang berjalan selama ini pun telah berkali kali membuktikan kebenarannya. Di waktu kecil saya ingin sekali bertemu Papa T.Bob, pencipta lagu anak-anak terkenal di masa itu. Karena sedari dulu saya pun suka mengulak-ulik kata dan menciptakan lagu sendiri. Saya lebih merasa ngefans dengan pencipta lagunya ketimbang artisnya. Pernah beberapa kali keinginan itu saya utarakan pada Bapak, mungkin untuk ukuran anak, Allah menganggap kicauan tak penting - tapi tulus - itu sebuah panjatan doa. Entahlah.


Hingga tahun-tahun berselang, ketika harapan itu mulai terlupakan dan berganti dengan harapan-harapan lain yang terdengar lebih 'nyata', saya terpilih menjadi backing vocal Ria Enes dan Suzan untuk album Main-Mainan. Dan di saat itulah, mimpi yang terkubur sekian tahun terwujud nyata. Saya bertemu dengannya, Papa T. Bob, lelaki seusia Bapak saya yang notabene menjadi penulis lagu-lagu di album tersebut. Jangan ditanya senangnya hati, ketika backing vocal lain bersuka cita bisa dekat dengan Kak Ria dan Suzan yang sangat populer, saya malah heboh minta tanda tangan dan foto bareng Papa T.Bob.


Pernah juga saat SD, ingin sekali punya sahabat pena orang bule. Padahal dilihat dari segi manapun, sepertinya tidak mungkin untuk punya kenalan bule di Surabaya, secara orang tua tidak ada sangkut pautnya dengan orang asing.


Terpikat dengan bule pertama kali ketika masih SD. Waktu itu ada saudara jauh tetangga yang berasal dari Inggris datang dan menghebohkan satu kampung. Sejak itu saya memantapkan diri untuk bisa berbahasa Inggris. Tapi karena keterbatasan ekonomi, rasanya tidak mungkin untuk les bahasa Inggris yang biayanya selangit. Namun begitu, karena tekad yang sudah bulat saya belajar bahasa Inggris secara mandiri, dengan cara mengintip anak tetangga yang sedang les privat di sebelah rumah.


Waktu berlalu, hingga kelas 2 SMP saya berkesempatan untuk bertemu, berkenalan, hingga bertukar alamat dengan beberapa turis asing ketika mengadakan study tour di Kebun Binatang Surabaya. Jangan bayangkan saya fasih seperti Agnes Monica. Dibandingkan dengan teman-teman yang lain pun saya masih kalah cas cis cus. Maklum hanya belajar bahasa Inggris di sekolah yang sangat terbatas waktunya dan yang paling sering menerjemahkan lagu-lagu berbaha Inggris dengan kamus saku sebisanya. Singkat kata, akhirnya saya berkoresponden dengan salah seorang turis yang saya temui waktu itu, namanya Howard berasal dari Canada dan kami berkoresponden sekitar satu tahun. Hubungan terhenti karena saya malas berpikir terus sambil membuka buka kamus lecek setiap akan menulis kalimat. Subhanallah, sungguh tidak disangka bahwa doa terpendam yang nyaris terlupakan akhirnya terkabul secara sendirinya.


Pengalaman-pengalaman tersebut, sebetulnya tidak lagi terekam kuat di ingatan jika tanpa dibantu buku harian, yang sudah sejak kelas 1 SD saya terapkan sebagai suatu rutinitas. Saya tidak punya rekam jejak lagi antara doa-doa itu terpanjat hingga bertahun-tahun kemudian menjadi terkabulkan.


Tentu saja ini bukan karena doa saya saja yang selalu dikabulkan. Saya yakin kita semua pun pasti pernah merasakan hal yang sama. Yang membuatnya berbeda hanyalah apakah kita masih ingat atau tidak saat memanjatkannya. Maka tidak ada salahnya bagi kita selain berhati-hati dalam berucap, lebih lebih berhati-hati dalam berpikir. Mana tahu jika pikiran iseng yang menyambung harapan-harapan justru akan dikabulkan.


Ada cerita menarik yang baru baru ini terjadi pada diri saya. Sejak kecil, saat masih duduk di bangku SMP mungkin, saya sangat tidak menyukai pekerjaan yang berhubungan dengan militer dan perbankan. Di saat itu, sepertinya pegawai bank adalah pegawai yang “wah". Karena ke'wah'annya itulah justru membuat pandangan semakin sinis.


Penampilannya necis, orangnya ganteng dan cantik, kantornya dingin, apik dan terkesan eksklusif. mungkin karena saat itu orang tua saya tidak punya banyak tabungan, jadi kami jarang sekali pergi ke bank. Seiring bergulirnya waktu ketika sudah dewasa dan memiliki anak, secara tidak sengaja saya justru masuk dan bekerja sebagai pegawai outsourcing di salah satu bank pemerintah. Ketidaksengajaan ini membuat saya dilema, di satu sisi saya sudah menandatangani kontrak di vendor tersebut yang artinya harus siap ditempatkan di mana saja, termasuk di bank. Di sisi yang lain ekonomi saya sebagai single mother saat itu sangat membutuhkan penghasilan tetap untuk memenuhi kebutuhan keluarga kecil saya.


Maka meski dengan setengah hati, akhirnya saya bekerja di sana. Jangan ditanya tentang pertentangan batin yang saya rasakan, apalagi saya kemudian tahu bagaimana hukum keberadaan bank konvensional di mata Islam.


Dalam setiap doa saya panjatkan, saya ingin lepas dari jeratan pekerjaan ini, ingin mendapatkan pekerjaan yang lebih berkah namun juga cukup berpenghasilan. Hingga kelak Allah memberikan lagi seorang suami, sehingga cita-cita menjadi ibu rumah tangga total bisa tergapai.


Namun itulah, kita suka karena terbiasa. Perlahan-lahan, selang berbulan-bulan, saya mulai enjoy dengan pekerjaan ini. Karena selain penghasilan yang cukup, toh terikat kontrak dan rumor yang santer dari teman teman ketika resign secara sepihak berakhir tidak menyenangkan.


Hingga pada pertengahan kontrak berjalan, Alhamdulillah Allah memberikan saya jodoh kembali. Akhirnya, sekira hampir setahun saya bekerja di sana, saya memutuskan untuk resign dan berkonsentrasi menjadi ibu rumah tangga total seperti yang saya idam-idamkan selama ini.


Kemudian datanglah tawaran tersebut, tawaran dari seorang sahabat untuk bekerja di bank syariah. Kali ini tawarannya lebih menggoda, karena akan diangkat sebagai pegawai tetap.


Sempat kembali bingung dengan tawaran itu dan akhirnya setelah menimbang-nimbang dengan suami, kami pun bersedia mengambil kesempatan tersebut dan menunda kepindahan saya serta anak saya yang masih bersekolah di sini. Proses demi proses saya lalui, dan semua terlihat mulus. Hingga akhirnya ada satu prasyarat yang terasa memberatkan, yaitu tidak boleh hamil selama satu tahun pelatihan. Di situ saya dan suami mulai terasa berat karena kami pun segera ingin punya momongan. Belum sempat memberi keputusan, datang lagi kabar bahwa saya dipindahkan ke bank konvensional, mengingat pengalaman saya pernah bekerja menjadi agen premium di bank konvensional. Sungguh tidak nyaman jika saya teruskan, namun di lain pihak sahabat tersebut sudah mengusahakan sedemikian rupa maka tak enak hati jika membatalkan yang sudah berjalan. Singkat kata, saya akhirnya tetap menandatangani kontrak itu.


Beberapa tes saya lewati, hingga tiba akhirnya menunggu saat pelatihan. Dari situ beberapa sahabat kembali mengingatkan, bagaimana pandangan Islam pada bank konvensional. Hingga satu waktu seorang murobi yang sudah lama tidak pernah berhubungan tiba tiba menanyakan kabar pekerjaan saya. Saya pun mengaku bingung akan apa yang harus saya lakukan. Namun satu kalimatnya yang menentramkan tanpa menyalahkan saya sama sekali, “segala sesuatu itu bergantung niatnya. Kalo niat Mbak Wuri tidak ingin mengecewakan sahabat itu baik. Maka saat ini yang bisa dilakukan adalah berserah, pasrah dan memohon ampun pada Allah. InshaAllah, akan ada jalan keluar".


Berminggu-minggu kami berdoa memohon yang terbaik. Meminta yang terbaik. Sementara kenangan masa lalu tidak ingin bekerja di bank semakin kuat. Dalam hati meronta-ronta tapi sungguh di posisi seperti ini hanya Allah-lah yang mampu.


Kemudian berlanjut, sahabat saya menghubungi sambil meminta maaf dalam-dalam, bahwa ternyata saya tidak bisa langsung masuk sebagai pegawai tetap namun harus proses outsourcing terlebih dahulu sekalipun telah mengikuti rangkaian tes dan dinyatakan lulus, karena prosedur yang tidak lagi sama seperti tahun-tahun sebelumnya saya harus mengikuti itu.


Subhanallah, betapa Allah maha mampu memutarbalikkan keadaan. Dengan pura-pura menyesal saya sampaikan padanya jika memang harus begitu saya tidak bisa menerima pekerjaan tersebut. Dengan berat hati, saya katakan untuk mengundurkan diri saja tanpa lupa berterima kasih banyak telah memberi kesempatan.


Yah, sekalipun gugurnya saya karena tidak minat dan kesadaran pribadi, namun saya pun sangat yakin, bahwa gugur saya ini adalah karena doa lama yang dikabulkan. Allah maha mengabulkan doa mana-mana saja yang Dia kehendaki. Dan mungkin apabila saya pun akhirnya berminat, saya yakin Allah akan menggugurkannya pula.


Allahualam bi shawab.


*Wuri Pramesti

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama