Senja Belum Jingga

 Oleh: Sava

https://pixabay.com/id/photos/pohon-matahari-terbenam-awan-langit-736885/
Ilustrasi: Pixabay.com

Suara deru mesin kapal tongkang berderak kasar membelah ujung laut pasifik. Ini hari kelima Yoga menyeberangi ketidakpastian. Para pekerja tambang mendadak dipulangkan karena bencana wabah yang menyebar. Ada yang pulang, ada yang tinggal.Yoga tentu memilih pulang. Di balik bencana ada berkah, sebuah alasan kuat untuk pulang. 

“Berapa lama sampai, pak?” Yoga terpaksa buka suara. Hatinya yang kosong membuat nada suaranya hampa. Yoga pulang bersama pemilik kapal, Pak Jali.

”Jika lancar, sebelum gelap kita sudah merapat di dermaga Siantar.”ujarnya.

“Yoga mau di sini menjaga Mak saja …” Ingatan Yoga kembali pada Mak yang hari itu mengabarkan lowongan di pertambangan. Ibunya sebatang kara sebab ayahnya telah lama berpulang.

Kamu lelaki, jelajahi dunia. Beliamu jangan kau habiskan di dalam tempurung! Mak kenal baik dengan Pak Jali, teman ayahmu. Dia bisa menjagamu.” Yoga terdiam. Dia yakin ada hikmah di baliknya.

“Jangan tinggalkan beliau yang sebatang kara.” Kalimat terakhir ini mengubah segalanya.

“Bapak yakin kali ini kita pulang?” Pertanyaan Yoga berat terucap. Sesaknya rindu membuat gelisah sulit bersembunyi. Pengembaraan lima belas tahun dari tambang ke tambang sungguh berat. Seringkali Pak Jali mengingatkan Yoga manakala rindu menjelma air bah. Pulang setelah cita-cita tercapai. Sebelum itu terjadi, emak belum berkenan Yoga bertandang. 

Iya nak. Sudah waktunya. Janji pada almarhum telah terpenuhi.  Kerja kerasmu selama 15 tahun menunggumu.”

Perlahan air mata Yoga menggenang. Ibunya membuatkannya rumah. Matanya semakin basah. Seperti tanah di hadapannya. Pak Jali benar. Hari belum gelap. Senja belum jingga. Bayangan perlahan pudar, membentur batu nisan. “Mak, aku pulang,” Yoga terisak, tak sanggup pulang hingga malam menjelang. (*)


Pekan Karya ketiga, 10 Juli 2021


Post a Comment

Lebih baru Lebih lama