Oleh: Ramdani
“Biiii, kamu nggak
denger taa…?” Tanya si cinta
mengagetkanku.
“Ini lho
derit…derit…” Lanjutnya terus mendesak.
“Hah, derit apa ?
Jangan main-main ini udah malam lho…” seruku menjawab pertanyaan itu.
Kabut halus nan
tipis mulai turun, menyelimuti perjalanan kami, dingin pun mulai menusuk tubuh
bongsorku, tak terkecuali kedua telingaku yang mulai tersumbat atau berdengung.
Pertama telinga sebelah kanan, lalu tak lama menyusul telinga kiri. Hal ini
memang sangat wajar mengingat posisiku yang menanjak naik.
Suara itu semakin
terdengar jelas, tapi aku tak pedulikannya. Aku yakin itu bukan suara yang ada
didekatku, pasti si cinta salah dengar.
“Sriiiiittt…Sriiiitttt…”
suara itu semakin jelas hingga membuat si Cinta kembali memintaku untuk berhenti.
“Biiiiii, nggak
dengar ta…? Kembali rengek si cinta membuat telingaku yang tadinya berdengung
atau tersumbat menjadi plong lagi.
“Abiii…Astagahfirullah…”
Braaaaakkkk…
Gedubraaaaakkk…
Seminggu ini
harusnya aku sibuk membantu mereka mempersiapkan rekreasi di akhir bulan. Empat
belas hari sebelum hari-H, harusnya aku pun turun langsung mengawal teman-teman
yang survei lokasi tempat acara rekreasi itu. Aku pun seharusnya juga turut
aktif membantu dan membagi tim juga tugas untuk membawa perlengkapan yang
dibutuhkan dalam rekreasi itu.
Aku pun juga
harusnya turut merasakan lelah dan berlikunya perjalanan dalam agenda survei itu.
Aku pun juga harusnya ikut mendorong motor yang mogok dan sulit di-starter yang
dirasakan oleh si Na, cewek tomboy yang sok jadi lelaki itu. Ia yang daya
juangnya melebihi semua lelaki di grup, ia yang tak pernal Lelah pulang pergi
tiap hari kerja dari kota buaya ke kota onde-onde.
Dengan si Bryant
hitamnya, yang tiap isuk uthuk-uthuk berani melaju menerjang kabut dan
asap pembakaran padi di hamparan luas ladang subur. Menuju ke arah timur demi
sesuap nasi perjuangan si anak bungsu kesayangan kakak-kakaknya. Dimana tiap
senja menyapa, sebelum matahari pulang ke peraduannya ia berusaha sekuat tenaga
mendahului si senja agar sampai lebih dulu ke rumah ndesonya.
Seharusnya aku pun
juga turut merasakan letih dan ngantuknya, ketika si Fa yang nama tenarnya ada
embel-embel voice-nya itu. Yang harus ngegas di hari libur ngajar lesnya,
menuju dataran tinggi di pinggiran kota. Dengan kantung mata pandanya yang
turut menyertai dan setia menemaninya kemana-mana.
Dengan supra merah
hitamnya, berkendara 1 jam lewat 45 menit. Hanya demi suksesnya acara Rekreasi
Menulis yang diinisiasi dan digawanginya itu. Ini perempuan lho, kemana-mana
sendiri, asli slogan “WANI” layak tersemat di balik nama voice-nya itu.
Bagaimana tidak, luar kota sejauh kurang leboh 60 – 70an kilometre dijalaninya
sendiri. Beruntung ada si Na, yang bersedia menemani, meski harus berangkat
sendiri-sendiri.
Sementara aku,
lelaki yang kemana-mana selalu teriak dan memekik “Salam Satu Nyali, WANI” dengan
tangan mengepal menunjukkan jati diri seorang lelaki. Tentunya salam ini
kuucapkan setelah salam wajib “Assalamu’alaykum Warohmatullohi Wabarokatuh”,
bukan “Assalamu’alaikum Ukhty…”
Aku yang dengan
badan tinggi, bongsor yang harusnya ikut menemani si Na dan Si Fa ini. Apalagi
mereka adalah anggota di sebuah divisi yang kupimpin di FLP Surabaya. Aku yang
hanya berani dan bernyali dan manis dibibir, memutar kata, malah kau tudu akulah
segala penyebabnya.
Ahh, apalah aku
ini Yaa Allah, malu rasanya pada mereka berdua, wanita kuat, mujhidah Tangguh
anti menye-menye, anti alis luntur atau anti oppa-oppa korea yang semi plastik kata
netizen negeri ini. Yang berani berjuang demi mewujudkan mimpi kecil
menyenangkan teman-temannya yang sudah rindu jalan-jalan, beranjangsana dan
berekreasi ria.
Yaa, mereka berdua
yang berani berkomitmen tulus dan mewujudkan sebuah perjalanan yang benar-benar
bermakna. Bermakna bagi semua yang ikut dalam kegiatan Rekreasi Menulis akhir
pekan yang lalu. Sebuah perjalanan yang sangat berarti ketika benar-benar
kulewati,meski tak seorang diri seperti Na dan Fa ini.
Perjalanan yang
mungkin tak cukup aku tuliskan dalam karakter-karakter huruf yang ada di
keybord laptop tua nan usang ini. Atau berhalaman-halaman atau bahkan
berlembar-lembar kertas di word, yang jelas saja takkan cukup aku tulis
hingga pukul 23.59 terlewati seperti yang baru saja kulihat di layar handphone
kentang yang sudah penuh memorynya ini.
Sebuah perjalanan
singkat tapi penuh hikmah, yang terpaksa diakhiri karena matahari yang mulai
meninggi. Liburan yang singkat namun penuh arti, bak oase di padang pasir.
Dimana hampir satu setengah tahun menahan diri, mengunci dan memenjara diri
agar tak lari, dari kenyataan bahwa manusia harus takluk tak berkutik oleh
pandemi.
Seperti tulisan
yang harus aku akhiri sampai disini. Di jam, menit dan detik ini. Ketika waktu
yang terlalu singkat, ya memang manusianya aja sih yang memaksa diri. Nekad menulis
sebagai bentuk pengingat dan penyesalan diri. Untuk semua ketidakmampuan diri
yang tertutupi kepalsuan hati.
Tapiiii…
Aku
berjanji…
Melanjutkan
esok subuh di pagi buta hari ini…
Percayalah
diri…
Bersambung…
Pekan Karya: Edisi 13
Tema: Makna Perjalanan
Posting Komentar